dinsdag 9 juli 2013

TRADISI TOU MINAHASA

Makna Budaya Kesehatan Reproduksi dan Penamaan Orang Minahasa
        
                                            Oleh: Albert Kusen

SEBAGAIMANA diketahui bahwa salah satu sistem kepercayaan kesehatan yang sejak tempo doeloe sangat diperhatikan oleh orang Minahasa, adalah berkenaan dengan kesehatan reproduksi. Sistem kepercayaan kesehatan reproduksi ini berkaitan dengan upaya untuk mencegah segala gangguan atau ancaman kesehatan tehadap ibu selama kehamilan, persalinan maupun pascasalin. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mencegah agar sang ibu tidak mengalami gangguan kesehatan, dianjurkan kepada sang suami agar senantiasa memperhatikan apa yang dihendaki istrinya yang lagi hamil sampai pascasalin, seperti diungkapkan: ’’rei manun ka se tuama dei makiwe si wewene paar” (lihat Kusen 2002).
Singkatnya, seorang ibu yang sedang hamil secara budaya, melalui petunjuk atau nasehat orang tua atau bidan desa (Biyang-Kampung), agar menaati segala hal yang tidak boleh dilakukan (pasooan). Misalnya, ibu yang sedang hamil tidak boleh berdiri di depan pintu; tidak boleh berjalan sendirian di malam hari; tidak boleh duduk di sudut meja, dan sebagainya. Apabila pantangan ini dilanggar, sang ibu akan mengalami kesulitan selama masa kehamilan, terlebih pada saat melahirkan bayi yang dikandungnya.

Demikian juga pada masa pascasalin/setelah melahirkan (2 minggu), demi kesehatan dan keselamatan sang ibu, secara budaya diwajibkan untuk menaati kebiasaan atau tradisi, antara satu-dua minggu pascasalin. Selama masa pascasalin sang ibu diwajibkan melakukan upacara mandi ramuan tradisional yang disebut bakera.
Proses pelaksanaan bakera biasanya ditangani langsung oleh bidan desa (biyang) yang menolong ibu sewaktu melahirkan bayinya. Adapun bahan-bahan ramuan yang disediakan oleh biyang, seperti:
1) Daun-daunan (wiwi, kales merah dan putih, balacae).
2) Akar-akaran (sese’mbanua, goraka, karimenga, kunere).
3) Kayu-kayuan (kayu lawang, kayu cengkeh).
4) Buah-buahan (jeruk, cengkeh).

Mekanisme pelaksanaan bakera melalui proses sebagai berikut: 1) Semua bahan-bahan ramuan diiris-iris sampai halus, semuanya dimasukkan ke dalam pan besar (kure wangko), kemudian dimasak atau direbus di atas 3 buah batu sampai mendidih; 2) Setelah air mendidih, ramuan diaduk-aduk, selanjutnya didinginkan. Sementara itu, ketiga batu sebagai tempat memasak dibakar terus sampai merah;
3) Selanjutnya, setelah dirasakan air dan bahan-bahan yang direbus sudah dingin, si ibu didudukan pakai kursi yang diletakkan sedemikian rupa di atas ke tiga batu yang sudah memerah/panas. Kemudian disiramlah air yang sudah dingin itu ke permukaan batu-batu tersebut. Ketika terjadi penguapan, si ibu segera menghirup uap air sampai dirasakan keseluruhan tubuhnya berkeringat. Apabila masih ada sisa air raramuan tersebut, dimanfaatkan untuk membersihkan dan mendinginkan tubuh si ibu (Kusen 1992).
Makna tradisi bakera ini, berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, dan nilai bahwa ibu yang baru melahirkan, dianggap mengalami pendarahan secara simbolik dianalogikan banyak mengeluarkan unsur panas dari dalam tubuh si ibu. Sebagai konsekuensinya perlu dikembalikan unsur panas itu ke dalam tubuh si ibu melalui upacara bakera tersebut; sekaligus untuk membersihkan kondisi tubuh si ibu agar sehat dan kuat merawat sang bayi yang dilahirkan. Kecuali itu, untuk mencegah timbulnya penyakit yang paling ditakuti oleh ibu-ibu baru melahirkan, adalah penyakit ‘bantahang’ (darah putih naik di kepala), secara bio-budaya si ibu bisa mengalami gangguan jiwa atau risiko kematian/meninggal (Kusen 2002).

Sistem Kepercayaan Persalinan dan Penamaan Bayi - ‘Potong Pusa’
Menurut kepercayaan orang Minahasa tempo doeloe, seorang ibu hamil demi kelancaran persalinannya nanti, sesuai dengan petuah atau nasihat berdasarkan adat istiadat setempat diharuskan menaati segala hal yang bersifat pantangan (poso-poso/posan). Makanya, dalam menghadapi persalinan atau sebelum bersalin, biasanya orang tua sang ibu hamil akan memanggil Tona’as bersama dengan Biang Kampung (bidan) mengadakan upacara adat untuk mencegah segala ancaman atau gangguan berupa ruh halus (welana) yang dipercaya dapat mengganggu proses kehamilan.
Suatu hal yang sering diberi nasihat kepada suaminya, diharuskan untuk menuruti apa yang diidamkan istrinya yang sedang hamil (mangidang), karena kalau tidak akan berimplikasi terjadinya gangguan psikis atau stress di mana hal ini akan mengganggu proses persalinan dan kesehatan si ibu (rei wangun ka ‘setuama dei makiwe si ‘wewene pa’ar).
Demikian juga menjelang persalinan, selain memberi petuah-petuah yang berkaitan dengan posan, Tona’as akan memerintahkan agar semua barang (peti, lemari, pintu, jendela) dan ikatan-ikatan yang ada di dalam lingkungan rumah dibuka agar proses kelahiran berjalan lancar dan mudah (Kusen 2002).

Seperti dimaklumi bahwa sebelum agama Kristen masuk di Minahasa, sudah menjadi tradisi orang Minahasa untuk melakukan upacara penamaan anak-‘potong pusa’.
Mengalami peristiwa kelahiran bayi sungguh merupakan hal yang membahagiakan bagi orang tua si bayi dan keluarganya. Dalam konteks jenis kelamin, tidak dipersoalkan oleh keluarga, yang penting bayi lahir dengan selamat dan sehat. Biasanya pihak keluarga sudah menyiapkan nama sang bayi, dan sebagaimana biasanya sebelum pemberian nama, dilihat dulu kondisi fisik si bayi, apakah ada kemiripan dengan kakek (opa) atau nenek (oma) si bayi menurut garis keturunan ibunya maupun ayahnya. Hal ini dimaksud untuk menghormati pendahulunya.
Setelah terjadi penamaan, langsung dilihat reaksi si bayi, kalau dia menangis dan melakukan gerakan-gerakan bermakna, itu berarti mendapat tanggapan positif dari leluhurnya. Jika si bayi hanya diam/tidak bereaksi, maka segera membatalkan nama yang sudah terlanjur diberikan untuk diganti dengan nama baru. Setelah si bayi memperoleh nama, sebelum digunakan untuk menyebut si bayi penetapan untuk meneguhkan nama resmi si bayi melalui upacara adat, di mana sebelum masuknya agama Kristen, si bayi dicelup (seperti dibaptis) di air sungai yang didahului dengan upacara ‘potong pusa’.

Yang pasti bahwa mengenai isu penamaan bayi atau nama panggilan seorang anak yang diberikan oleh orang tua (leluhur) dilatarbelakangi oleh nilai-nilai positif. Seperti sebutan panggilan Tole (anak laki-laki), artinya sang anak sudah memiliki ketrampilan, Keke (anak perempuan), artinya sang anak cekatan dan rajin dalam mengurus rumah tangga. Sebutan panggilan Utu-Utu’u (panggilan anak laki-laki), artinya sang anak berperangai yang benar. Sebutan Wewene (perempuan), artinya memberi berkat bagi seisi rumah, sedangkan Tuama (laki-laki), artinya orang (laki-laki) yang sungguh-sungguh menjadi teladan, menjadi tulang punggung atau sandaran keluarga (dikomunikasikan oleh F. Parengkuan, 5/20/2010).#

Geen opmerkingen: