woensdag 3 juli 2013

KAJIAN ILMIAH SAPAAN AKRAB DALAM KELUARGA TOUDANO

FAEDAH BULETIN ILMIAH KEBUDAYAAN DAN SAIN
BENTUK SAPAAN ANTAR ANGGOTA KELUARGA DALAM
BAHASA TONDANO

Siska Rambitan
Staf Pengajar pada Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi
 
Abstract
This study aimed to describe the forms of greetings among family members in Tondano
language. Greetings means the words used to greet the family members.
This research was conducted in Tondano. Data were obtained through participatory
observation which comes and free interview. Then the data were analyzed based on the
Kridalaksana’s and Burling’s theory. From the research, the greetings Tondano language are
still used in daily conversation of Tondano people both in formal and informal situations.
Tondano language greeting in general do not recognize gender, for examples puyun
(grandson) and panaken (nephew). To distinguish the granddaughter and grandson, it is used
panaken tuama and panaken wewene. There are some similar greetings for different gender such
as the word hello to the wife or husband, which is called kaawu and ampit. Similarly, the
greetings for mother or father in law is the same as greeting to the child law, which is manuang.
The difference this term be seen through the context of the sentence.
Greetings for kinship in Tondano language can also distinguished into lineal, collateral,
and afinal.
Key words: greeting, gender, lineal, collateral, afinal
 
I. PENDAHULUAN
Di bumi persada Nusantara kaya dengan suku bangsa dan bahasa daerahnya masingmasing.
Di Sulawesi Utara khususnya di tanah Minahasa terdapat delapan kelompok etnis, yaitu
etnik Tombulu, Tontemboan, Toulour, Tonsawang, Bantik, Pasan, dan Ratahan. Kedelapan
kelompok etnis tersebut bukan berasal dari daratan Minahasa melainkan merupakan pendatang.
Dari mana asal mereka belum diketahui dengan pasti karena tidak ada bukti-bukti sejarah dalam
bentuk lisan, prasasti atau peninggalan kebudayaan lain, seperti artefak yang dapat dijadikan
petunjuk asal mereka. Namun, kedatangan mereka tidak sekaligus melainkan datangnya secara
bergelombang. Bahasa mereka membuktikan bahwa sangat mungkin mereka berasal dari satu
tempat belahan utara karena alasan mencari nafkah antara lain, mereka berpindah ke selatan
tetapi secara berkelompok dan dengan selang waktu yang panjang (Manoppo – W, 1983).
Sesuai dengan kelompok etnis yang ada, bahasa mereka pun terdiri atas bahasa Tombulu,
Tonsea, Tontemboan, Tondano, Tonsawang, Pasan, dan Ratahan (Tallei, 1999).
Bahasa Tondano merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di Minahasa. Menurut
sejarah, bahasa Tondano adalah bahasa dari salah satu kelompok etnis yang dikenal dengan
kelompok Tounsingal. Tempat mereka tidak diketahui. Pada mulanya mereka mendiami daerah
di Tanjung Pulisan. Namun, karena desakan etnis Tonsea mereka melarikan diri di sekitar danau
Tondano. Di sana mereka mendirikan rumah bertiang di atas air, tetapi kemudian atas
persetujuan etnis Tonsea, mereka mendiami dataran rendah Tondano sampai ke pegunungan
Lembean dan daerah pesisir pantai. Kelompok Tounsingal ini kemudian dikenal sebagai
toundano atau tondano ‘orang air’ (Manoppo, 1983).
Bahasa Tondano digunakan di kota Tondano dan di desa-desa yang ada di kecamatan
Kombi dan kecamatan Eris. Desa-desa yang ada di kecamatan Remboken dan Kecamatan Kakas
menggunakan pula bahasa Tondano dengan dialek Remboken dan dialek Kakas.
Seperti masyarakat Minahasa lainnya, masyarakat Tondano sudah bercampur baur dan
bergaul dengan kelompok-kelompok etnis lainnya di Minahasa dan dari luar Minahasa terutama
di kota Tondano yang menjadi pusat pemerintahan Minahasa Induk. Oleh karena perkembangan
jaman, maka nampaknya pemakaian bahasa Tondano mulai kehilangan kemurniannya terutama
di kota Tondano dan sekitarnya.
Mengantisipasi kepunahan bahasa Tondano, maka penulis telah mengadakan penelitian
bahasa Tondano lebih khusus mengenai pemakaian kata sapaan antar anggota keluarga dalam
bahasa Tondano. Kridalaksana menyatakan bahwa sapaan adalah sistem yang mempertautkan
seperangkat kata atau ungkapan yang dipakai untuk menyapa para pelaku dalam peristiwa
bahasa. Para pelaku ialah mereka yang menyapa, mereka yang disapa, dan mereka yang turut
mendengarkan percakapan dan menyaksikan interaksi antara pelaku percakapan (1982:46)
Dalam penelitian ini diteliti tentang penggunaan kata sapaan antar anggota keluarga
dalam bahasa Tondano.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif. Penelitian
dilaksanakan melalui tiga tahap kegiatan. Ketiga tahap kegiatan itu adalah tahap penyediaan
data, analisis data, dan penyajian hasil penelitian. Ketiga tahap ini saling berkaitan dan
dikerjakan secara berurutan.
Lokasi penelitian dilakukan di desa Kiniar Kecamatan Tondano Timur. Desa ini dipilih
karena memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak sehingga lebih memudahkan untuk
mendapat informan. Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah berkisar 50 – 70 tahun
dengan pertimbangan bahwa mereka masih menguasai bahasa Tondano dan memiliki daya pikir
yang kuat.
Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data bentuk kata sapaan dalam masyarakat
Tondano yaitu melalui observasi partisipasi dan wawancara bebas dengan beberapa penduduk
yang dianggap mengetahui dengan baik bahasa dan adat istiadatnya. Data yang terkumpul
dianalisis berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Kridalaksana dan Burling.
2. PEMBAHASAN
Batas-batas hubungan kekerabatan orang Minahasa ditentukan oleh prinsip bilateral,
dimana hubungan kekerabatan ditentukan berdasarkan garis keturunan pria maupun wanita.
Kelompok kekerabatan yang terdapat sekarang ini dengan prinsip keturunan tadi disebut taranak,
family atau patuari. Istilah ini juga digunakan untuk hubungan kekerabatan yang lebih luas yang
tidak mempunyai hubungan darah.
Suatu family, taranak atau patuari meliputi ayah dan ibu dari sepasang suami isteri, anakanak,
cucu-cucu, saudara-saudara sekandung dari suami isteri, anak-anak mereka dan anak-anak
sendiri (Koentjaraningrat, 1990:155-156).
Dalam bahasa Tondano kata sapaan masih aktif digunakan dalam percakapan baik dalam
situasi resmi maupun tidak resmi.
2.1 Deskripsi Kata Sapaan Bahasa Tondano
Kata sapaan bahasa Tondano pada umumnya tidak mengenal gender, seperti puyun
(cucu) dan panaken (keponakan). Untuk membedahkan antara laki-laki dan perempuan
ditambahkan kata wewene dan tuama dibelakang kata tersebut, sebagai contoh:
- puyunku wewene maa’me waki tetekelan
Cucuku perempuan menangis di tempat tidur
- teakan puyunku tuama umurou 2 tahun
Hari ini cucuku laki-laki berusia 2 tahun
- panakenku wewene masekola waki wenang
Keponakanku perempuan sekolah di kota
- panakenku tuama tumiba rano waki parigi
Keponakanku laki-laki menimba air di sumur
Dalam bahasa Tondano terdapat pula kata sapaan yang sama untuk gender yang berbeda,
seperti kata kaawu atau ampit untuk menyebut isteri atau suami, dan manuang untuk menyebut
orang tua menantu atau anak menantu, sebagai contoh:
- kaawuku malutu’ rano waki awu
Isteriku/suamiku memasak air di dapur
- Woodo manuangku tumeles labung waki toko
Esok mertuaku/menantuku membeli baju di toko
Untuk mengetahui apakah suami atau isteri yang dimaksud, atau orang tua menantu atau
anak menantu yang dimaksud, dapat diketahui melalui konteks kalimat.
2.2 Kata Sapaan Bahasa Tondano Berdasarkan Garis Keturunan
Kata sapaan bahasa Tondano dibedakan pula atas garis keturunan lineal, kolateral, dan afinal.

2.2.1 Garis Keturunan Lineal
Garis keturunan lineal adalah istilah kekerabatan yang mengacu pada hubungan para
kerabat yang berdasarkan satu garis keturunan langsung atau secara garis lurus dari ego meliputi
kerabat yang berada di atas maupun di bawah ego.
2.2.1.1 Kerabat yang berada di atas ego disapa dengan sapaan:
papa, pa’ ayah
mama, ma’ ibu
tete’, te’ kakek
nene’, ne’ nenek
2.2.1.2 Kerabat yang berada di bawah ego disapa dengan sapaan :
utu’, tu’ anak laki-laki
keke’,ke’ anak perempuan
puyun cucu (perempuan/laki-laki)
puyun karua cece
2.2.2 Garis Keturunan Kolateral
Garis keturunan kolateral adalah istilah kekerabatan yang mengacu pada kerabat yang
berasal dari nenek moyang yang sama tapi bukan dari satu garis keturunan langsung atau
mengacu pada hubungan yang meliputi suatu garis horizontal antara dua bersaudara pada satu
garis keturunan dengan ego. Istilah ini juga meliputi kerabat yang berada di atas ego dan di
bawah ego, serta kerabat yang berada sejajar dengan ego atau pada generasi nol.
2.2.2.1 Kerabat di atas ego disapa dengan sapaan-sapaan:
mama oki’ bibi (adik dari ayah atau ibu)
ma tua’ bibi (kakak dari ayah atau ibu)
papa oki’ paman (adik dari ayah atau ibu)
papa tua’ paman (kakak dari ayah atau ibu)
2.2.2.2 Kerabat di bawah ego disapanya dengan sapaan:
panaken wewene keponakan laki-laki
panaken wewene keponakan laki-laki
panaken tuama keponakan perempuan
2.2.3 Afinal
Istilah afinal yaitu kekerabatan yang menunjukkan hubungan yang terjadi karena adanya
tali perkawinan. Istilah kekerabatan ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin, tingkat generasi
dan garis keturunan.
2.2.3.1 Jenis Kelamin
2.2.3.2 Kerabat Wanita
Sapaan ego terhadap mereka adalah:
kaawu isteri
mama tua’, mama oki’ bibi
panaken wewene keponakan perempuan
manuang wewene mertua perempuan
manuang wewene menantu perempuan
2.2.3.3 Kerabat laki-laki
kaawu suami
papa tua’, papa oki’ paman
panaken tuama keponakan laki-laki
manuang tuama menantu laki-laki
manuang tuama mertua laki-laki
2.2.3.4 Generasi
Kekerabatan afinal menurut generasi terdiri dari:
a. Generasi nol (0)
b. Generasi satu tingkat di atas ego (+1)
c. Generasi satu tingkat di bawah ego (-1)
d. Generasi dua tingkat di bawah ego (-2)
2.2.3.5 Generasi Nol
Generasi ini yakni para kerabat yang sejajar dengan ego, yaitu suami, isteri dan saudara
ipar. Sapaan ego terhadap mereka adalah:
kaawu suami
kaawu isteri
tuari ipar wewene adik ipar perempuan
tuari ipar tuama adik ipar laki-laki
pekaka’an ipar wewene kakak ipar perempuan
pekaka’an ipar tuama kakak ipar laki-laki
2.2.3.6 Generasi satu tingkat di atas ego
Generasi ini yaitu para kerabat afinal yang berada satu tingkat di atas ego yaitu paman,
bibi, ayah, ibu, ibu mertua, atau ayah mertua.
Sapaan ego terhadap mereka ialah:
papa’, pa’ ayah
mama’, ma’ ibu
papa oki’, papa tua’ paman
mama oki’, ma tua’ bibi
manuang wewene/manuang tuama ibu mertua/ayah mertua
2.2.3.7 Generasi satu tingkat di bawah ego
Generasi yang berada satu tingkat di bawah ego dalam kerabat afinal yaitu para
keponakan ego atau anak dari saudara laki-laki atau perempuan ego. Sapaan ego terhadap
mereka adalah:
panaken wewene keponakan perempuan
panaken tuama keponakan laki-laki
Contoh: panakenku wewene kimanou durian
Keponakanku makan durian
panakenku tuama ma’ayang rano waki tambu’ sela
Keponakanku laki-laki bermain air di kolam ikan besar
2.2.3.8 Generasi dua tingkat di bawah ego
Kerabat afinal yang berada dua tingkat di bawah ego yaitu cucu kemenakaan ego atau
anak dari anak perempuan atau laki-laki dari saudara laki-laki atau perempuan ego. Sapaan ego
terhadap mereka ialah
puyun wewene cucu perempuan
puyun tuama cucu laki-laki
3. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kata sapaan bahasa Tondano masih digunakan dalam percakapan sehari-hari orang
Tondano baik dalam situasi resmi maupun tidak resmi.
2. Hubungan antarpersonal dalam sistem kekerabatan menjadi norma atau aturan
pemakaian kata-kata sapaan kekerabatan.
3. Kata sapaan bahasa Tondano pada umumnya tidak mengenal gender, sebagai contoh:
puyun (cucu), panaken (keponakan), pekaka’an (kakak), urang matuari (sepupu).
Untuk membedakan cucu perempuan atau laki-laki digunakan puyun wewene dan
puyun tuama, keponakan laki-laki atau perempuan digunakan panaken tuama dan
panaken wewene, kakak laki-laki atau perempuan digunakan pekaka’an tuama dan
pekaka’an wewene, sepupu laki-laki atau perempuan digunakan urang matuari tuama
dan urang matuari wewene.
4. Terdapat beberapa kata sapaan yang sama untuk gender yang berbeda sebagai contoh
untuk kata sapaan isteri atau suami digunakan kaawu dan ampit. Demikian pula kata
sapaan ibu atau ayah mertua sama dengan kata sapaan anak menantu yaitu manuang.
Untuk membedakannya dapat dilihat melalui konteks kalimat.
5 Kata sapaan kekerabatan bahasa Tondano dibedakan atas garis keturunan lineal dan
kolateral. Garis keturunan lineal meliputi kerabat yang berada di atas maupun di
bawah ego. Garis keturunan kolateral meliputi kerabat di atas ego dan kerabat di
ego dan kerabat di bawah ego. Kata sapaan afinal berdasarkan pada jenis kelamin, tingkat
genenerasi dan garis keturunan.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, A. dan Agustina, L., 1995. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Danie, J.A. 1991. Kajian Geografi Dialek di Minahasa Timur Laut. Jakarta : Balai Pustaka
Koentjaraningrat, 1990. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan
Kaswanti, P.B. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka
Kridalaksana, H. 1982. Dinamika Tutur Sapa dalam Bahasa Indonesia di dalam
Kridalaksana Dan Moeliono, ed. Jakarta: Bhratara: 193-195
---------------- 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia
Manoppo, W.G.Y.J. 1983. Bahasa Melau Surat Kabar di Minahasa pada Abad ke-19.
Disertasi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta
Manoppo, W.G.Y.J., J. Karisoh-N., D. Lotulung. 1984/1985. Struktur Bahasa Tondano.
Proyek Penelitian Bahasa dan Sastraa Indonesia dan Daerah Sulawesi Utara. Manado.
Pamantung, R. 1998. Proses Morfologi Bahasa Tondano. Tesis. Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang
Rambitan Siska. 2003. Nilai Budaya Ungkapan dengan Anggota Tubuh dalam Bahasa Tondano.
Tesis. Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi. Manado
------------------ 2009. Makna dan Bentuk Peribahasa Tondano. Penelitian. Lembaga
Penelitian Universitas Sam Ratulangi. Manado
Salea, M.J. Rompas, P. Nebath, J. Semen. 1977/1978. Struktur Bahasa Minahasa
(Tombulu, Tonsea, dan Tondano). Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta
WebRepOverall rating

Geen opmerkingen: