dinsdag 6 augustus 2013

WALAK DAN PAKASAAN

WALAK DAN PAKASAAN
Walak dan Pakasaan

Pengertian walak menurut kamus bahasa Tontemboan yang dikutip Prof G.A. Wilken tahun 1912 dapat berarti:

1. Cabang Keturunan
2. Rombongan Penduduk
3. Bahagian Penduduk
4. Wilayah Kediaman Cabang Keturunan.

Jadi Walak mengandung dua pengertian yakni Serombongan penduduk secabang keturunan dan wilayah yang didiami rombongan penduduk secabang keturunan.
Kepala walak artinya pemimpin masyarakat penduduk secabang keturunan,
Tu’ur Imbalak artinya wilayah pusat kedudukan tempat pertama sebelum masyarakat membentuk cabang-cabang keturunan.
Mawalak artinya Membahagi tanah sesuai banyaknya cabang keturunan.
Ipawalak artinya Membahagi tanah menurut jumlah anak generasi pertama, tidak termasuk cucu dan cicit.

Penelitian G.A. Wilken ini membantah laporan residen Belanda Wensel yang menulis bahwa arti kata Walak dari bahasa Melayu Balok karena Kapala Walak Minahasa harus menyediakan Balok kayu untuk pemerintah Hindi Belanda abad 18. Kata Walak adalah kata Minahasa asli di wilayah Tontemboan, Tombuluk, Tonsea dan Tondano. Jumlah Walak di Minahasa sebelum jaman Belanda tahun 1679 tidak kita ketahui, ketika Minahasa mengikat perjanjian dengan VOC Belanda, terdapat 20 Walak di Minahasa. Memasuki abad 19, jumlah Walak di Minahasa ada 27.

Penggabungan beberapa Walak yang punya ikatan keluarga dan dialek bahasa serta “Peposanan” membentuk satu “pakasa’an sehingga kepala-kepala Walak Pakasa’an Tombulu abad 17 haruslah keturunan dotu Supit, Lontoh dan Paat. Pakasa’an tertua menurut “A’asaren Tuah Puhuhna” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1870 adalah Toungkimbut di wilayah selatan Minahasa sampai Mongondouw, Tountewoh di Tombatu sampai ke utara pantai Likupang disebelah timur Minahasa dan Tombulu dibelahan barat Minahasa dari Sarongsong sampai pantai utara Minahasa.

Menurut cerita beberapa tetua keluarga Minahasa, masih ada dua Pakasa’an dalam cerita tua Minahasa yang pergi ke wilayah Gorontalo (sekarang ini turunan opok Suawa) dan Tou-Ure yang tinggal menetap di pengunungan Wulur – Mahatus. Tou-Ure artinya orang lama. Menurut teori pembentukan masyarakat pendukung jaman batu besar atau “megalit” tulisan Drs. Teguh Asmar dalam makalahnya “Prasejarah Sulawesi Utara” tahun 1986. Jaman Megalit terbentuk sekitar 2500 tahun sebelum Masehi, contoh jaman batu besar adalah memusatkan upacara adat di batu-batu besar seperti Watu Pinawetengan. Jaman batu baru atau jaman Neoit di Sulawesi Utara dimulai tahun Milenium pertama sebelum masehi atau sekitar seribu tahun sebelum masehi. Contohnya pembuatan batu kubur Waruga. Pada waktu itu orang Minahasa yang berbudaya Malesung telah mengenal pemerintahan yang teratur dalam bentuk kelompok Taranak secabang keturunan misalnya turunan opok Soputan, Makaliwe, Mandei, Pinontoan, Mamarimbing, pemimpin tertinggi mereka adalah yang bergelar Muntu-Untu, yang memimpin musyarah di Batu Pinwetengan pada abad ke – 7.

Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa. Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua menjadi Pakasa’an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an . Yakni Toungkimbut berubah menjadi Toumpakewa, Toumbuluk, Tonsea dan Toundanou. Kondisi Pakasa’an di Minahasa pada jaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana Pakasa’an Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw (lihat gambar) dan telah lahir pakasa’an Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa’an Tondano teridiri dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu terdiri dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta Ratahan. Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.

Wilayah walak Toulour agak lain karena selain meliputi daratan juga membahagi danau Tondano antara sub-walak Tounour yakni Touliang dan Toulimambot. Yang tidak memiliki Pakasa’an adalah walak Bantik yang tersebar di Malalayang, Kema dan Ratahan bahkan ada di Mongondouw-walaupun etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut. Menurut legenda etnis Bantik jaman lampau terlambat datang pada musyawarah di batu Pinawetengan. Ada tiga nama dotu Muntu-Untu dalam legenda Minahasa yakni Muntu-Untu abad ke-7 asal Toungkimbut (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal Tonsea-menurut istilah Tonsea. Dan Muntu-Untu abad 15 jaman Spanyol berarti ada tiga kali musyawarah besar di batu Pinawetengan untuk berikrar agar tetap bersatu.
Ratahan, Pasan, Ponosakan

Bahan data utama dari tulisan ini diambil dari buku terbitan tahun 1871. Pada awal abad 16 wilayah Ratahan ramai dengan perdagangan dengan Ternate dan Tidore, pelabuhannya disebut Mandolang yang sekarang bernama Belang. Pelabuhan ini pada waktu itu lebih ramai dari pelabuhan Manado. Terbentuknya Ratahan dan Pasan dikisahkan sebagai berikut; pada jaman raja Mongondouw bernama Mokodompis menduduki wilayah Tompakewa, lalu Lengsangalu dari negeri Pontak membawa taranaknya pindah ke wilayah “Pikot” di selatan Mandolang-Bentenan (Belang). Lengsangalu punya dua anak lelaki yakni Raliu yang kemudian mendirikan negeri Pelolongan yang kemudian jadi Ratahan, dan Potangkuman menikah dengan gadis Towuntu lalu mendirikan negri Pasan. Negeri Toulumawak dipimpin oleh kepala negeri seorang wanita bersuami orang Kema Tonsea bernama Londok yang tidak lagi dapat kembali ke Kema karena dihadang armada perahu orang Tolour. Karena orang Ratahan bersahabat dengan Portugis maka wilayah itu diserang bajak laut “Kerang” (Philipina Selatan) dan bajak laut Tobelo.

Kepala Walak pada waktu itu bernama Soputan mendapatkan bantuan tentara 800 orang dari Tombulu dipimpin Makaware dan anak lelakinya bernama Watulumanap. Selesai peperangan pasukan Tombulu kembali ke Pakasa’annya tapi Watulunanap menikah dengan gadis Ratahan dan menjadi kepala Walak menggantikan Soputan yang telah menjadi buta. Antara Minahasa dengan Ternate ada dua pulau kecil bernama Mayu dan Tafure. Kemudian kedua pulau tadi dijadikan pelabuhan transit oleh pelaut Minahasa. Waktu itu terjadi persaingan Portugis dan Spanyol dimana Spanyol merebut kedua pulau tersebut. Pandey asal Tombulu yang menjadi raja di pulau itu lari dengan armada perahunya kembali ke Minahasa, tapi karena musim angin barat lalu terdampar di Gorontalo. Anak lelaki Pandey bernama Potangka melanjutkan perjalanan dan tiba di Ratahan. Di Ratahan, dia diangkat menjadi panglima perang karena dia ahli menembak meriam dan senapan Portugis untuk melawan penyerang dari Mongondouw di wilayah itu. Tahun 1563 diwilayah Ratahan dikenal orang Ternate dengan nama “Watasina” karena ketika diserang armada Kora-kora Ternate untuk menhalau Spanyol dari wilayah itu (buku “De Katholieken en hare Missie” tulisan A.J. Van Aernsbergen). Tahun 1570 Portugis dan Spanyol bersekongkol membunuh raja Ternate sehinga membuat keributan besar di Ternate. Ketika itu banyak pedagang Islam Ternate dan Tidore lari ke Ratahan. Serangan bajak laut meningkat di Ratahan melalui Bentengan, bajak laut menggunakan budak-budak sebagai pendayung. Para budak tawanan bajak laut lari ke Ratahan ketika malam hari armada perahu bajak laut dirusak prajurit Ratahan – Pasan.
Kesimpulan sementara yang dapat kita ambil dari kumpulan cerita ini adalah
Penduduk asli wilayah ini adalah Touwuntu di wilayah dataran rendah sampai tepi pantai Toulumawak di pegunungan, mereka adalah keturunan Opok Soputan abad ke-tujuh.
Nama Opok Soputan ini muncul lagi sebagai kepala walak wilayah itu abad 16 dengan kepala walak kakak beradik Raliu dan Potangkuman.
Penduduk wilayah ini abad 16 berasal dari penduduk asli dan para pendatang dari Tombulu, Tompakewa (Tontemboan), Tonsea, Ternate dan tawanan bajak laut mungkin dari Sangihe.
Peperangan besar yang melanda wilayah ini menghancurkan Pakasa’an Touwuntu yang terpecah menjadi walak–walak kecil yang saling berbeda bahasa dan adat kebiasaan yakni Ratahan, Pasan, Ponosakan. Masyarakat Kawanua Jakarta mengusulkan agar wilayah ini dikembalikan lagi menjadi Pakasa’an dengan satu nama Toratan (Tou Ratahan-Pasan-Ponosakan). Karena negeri-negeri orang Ratahan, Pasan, Ponosakan saling silang, berdekatan seperti butir padi, kadele dan jagung giling yang diaduk menjadi satu. Penduduk wilayah ini memang sudah kawin-mawin sejak pemerintahan dotu Maringka akhir abad 18.
peta
 
Oleh :

Jessy Wenas

HUKUM DAN UKUNG

HUKUM DAN UKUNG
“Ukung” & “Hukum”

Minahasa dari awal dan pada hakikatnya menganut tribal system atau sistim suku-suku serta tidak mengenal sistim kerajaaan maupun sistim feodal, sistim-sistim yang sangat bertentangan dengan ketentuan-ketentuan adat, cara berpikir serta watak orang Minahasa.
Ini dibuktikan diawal abad 17 pada saat Mainalo Sarani putra dari Mainalo Wula'an dengan istrinya yang berasal dari Walak Tombariri dijadikan "Raja Manado" oleh orang-orang Tasikela [ Castillia - Spanyol ], "Raja"  ini ditolak dan tidak pernah diakui oleh para Ukung di Minahasa.
Juga dibuktikan dengan perlawanan-perlawanan keras yang diperlihatkan Ukung-Ukung di Minahasa bersama taranaknya dalam perang menghadapi kerajaan-kerajaan maupun bangsa-bangsa asing yang ingin menguasai Minahasa.

“Ukung” dan "Ukung Tu'a" adalah bahasa adat Minahasa, sebutan untuk para Pemimpin  Roong / Wanua dan Kepala Suku atau Kepala Walak di Minahasa dari jaman dahulu kala jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa dan sama sekali tidak ada hubungan maupun persamaan dengan bahasa Melayu “Hukum” yang berakar dari bahasa Arab.
Begitu pula dengan istilah “Walak” juga adalah bahasa adat Minahasa, yang berarti gabungan dari Roong-roong yang memiliki hubungan darah dan daerah yang sama, jadi pada dasarnya kata “Walak” mempunyai arti Genealogis dan Territorial.

Beberapa penulis sejarah Minahasa banyak mengutip pengertian yang salah dari laporan-laporan dan tulisan-tulisan di zaman Kompeni Belanda mengenai istilah “Ukung” dan “Walak”, serta mengait-ngaitkannya dengan bahasa Melayu.

Sesuai adat, pemimpin Walak dipilih diantara para Ukung Kawalak [Ukung dalam Walak yang sama], berdasarkan kewibawaan dan kesanggupannya menghadapi atau mengatasi masalah-masalah yang ada, termasuk ancaman keamanan serta dapat menjaga ketentuan-ketentuan adat yang ada.
Ukung yang terpilih menjadi Pemimpin Walak disebut “Ukung Tu’a” dengan panggilan kehormatan “Tu’a im walak” yang kemudian berubah oleh waktu dan kebiasaan menjadi Tu’ur im walak [awalnya “Tu’ur im walak” sebutan untuk Roong atau Wanua tertua dalam Walak dan pada umumnya nama suatu Walak diambil dari nama Roong/Wanua tertua].

Sekitar tahun 1689 pada masa Kompeni Belanda / VOC [1657-1797], agar lebih mudah berhubungan dengan para Ukung dan Ukung Tu’a, Kompeni Belanda menunjuk tiga orang Ukung Tu’a yang dipercaya untuk dijadikan perantara, mereka adalah Ukung Tu’a Supit dari Tombariri, Ukung Tu’a Lonto dari Saronsong dan Ukung Tu’a Paat dari Tomohon, mereka diberi gelar Hoofd Hoecoems-majoors atau Hukum Besar Kepala, inilah awal penggunaan istilah “Hukum” di Minahasa dan otomatis ketiga Ukung Tu’a ini telah menjadi alat Kompeni Belanda di tanah Minahasa.
Dengan ini maka Kompeni Belanda telah merusak serta mencampuri adat di Minahasa yang sama sekali tidak mengenal dengan kosa-kata dan istilah atau gelar tersebut diatas.

Juga dalam waktu yang tidak jauh, sekitar tahun 1703 sebutan / panggilan kehormatan para pimpinan walak dari “ Tu’a im walak “ atau “ Tu’ur im walak “ oleh masyarakat yang mulai mengetahui atau mengerti bahasa Melayu dalam bahasa sehari-hari dirubah menjadi Kapala Walak bahkan di-Melayukan jadi Kepala Balak dan dimasa Hindia Belanda di tahun 1824 oleh Residen pada saat itu, J. Wenzel [1824 – 1826] ditetapkan dengan resmi pimpinan dari sebuah walak disebut Kepala Walak serta menempatkan dalam setiap Walak seorang Wakil Kepala Walak yang disebut Hukum Kedua dan setiap Roong/Wanua dipimpin oleh seorang Hukum Tua yang ditunjuk / diangkat, inilah awal penggunaan istilah “Hukum Tua” di Minahasa, dan nanti ditahun 1854 baru diadakan pemilihan Hukum Tua / Kepala Kampung yang melibakan masyarakat dan berdasarkan suara terbanyak.
Pada masa inilah [1824] ketentuan-ketentuan adat Minahasa dalam hal memilih pemimpin, yang harus melibatkan dan mendapat persetujuan Ukung Kawalak, oleh kekuasaan Hindia Belanda tidak diberlakukan lagi dengan alasan rasionalisasi pemerintahan.
Selanjutnya para pimpinan Walak [pada saat itu di Minahasa ada 27 Walak] ditentukan dengan jalan penunjukan dan pengangkatan oleh pemerintah Hindia Belanda, dengan demikian mereka menjadi alat kekuasaan Hindia Belanda dan lambat laun para pimpinan maupun masyarakatnya sadar atau tidak sadar sudah merasa menjadi abdi bangsa Belanda.
Diterapkannya sistim ini [penunjukan dan pengangkatan], akibatnya “Bibit-bibit feodalis” mulai tertanam di bumi Minahasa dan bertumbuh dengan terciptanya “Kelas orang-orang berbangsa” yang terbentuk dari segelintir keluarga yang mendapatkan “Keistimewaan dan didahulukan” oleh bangsa Belanda.
Hal ini diperparah lagi dengan sistim penerimaan murid di Hoofden School [Sekolah anak-anak Kepala] atau lebih dikenal dengan nama “Sekolah Raja” yang didirikan oleh Belanda di Tondano pada tahun 1865.
Sekolah yang setingkat SMP ini dikhususkan untuk anak-anak “Kelas orang-orang berbangsa” dan anak-anak dari keluarga yang mendapat “Keistimewaan dan didahulukan”. Sistim pendidikan seperti ini telah ikut melahirkan manusia-manusia yang merasa sebagai “Bangsawan Minahasa”.
Akhirnya sekolah ini bubar dan ditutup pada tahun 1915 [ salah satu guru yang ditugaskan di sekolah ini ialah Josias Ratulangi, ayah dari DR. G.S.S.J. Ratulangi ].

Dampak dari semua aturan-aturan bangsa Belanda ini telah menimbulkan rasa perbedaan diantara Taranak Minahasa, keluarga yang satu merasa lebih istimewa dari keluarga lainnya, saudara yang satu merasa lebih istimewa dari saudara lainnya, walaupun kenyataannya mereka dari satu keturunan yang sama.
Oleh karena sistim yang dibangun diatas dasar yang rapuh hanya bersandar kepada kekuasaan Hindia Belanda, dengan mengingkari ketentuan-ketentuan adat yang ada serta bertentangan dengan watak masyarakat Minahasa, akhirnya hancur lebur digilas oleh perkembangan jaman dan perkembangan masyarakat itu sendiri.

Pada tahun 1856, sekali lagi dengan alasan rasionalisasi pemerintahan, adat Minahasa dipinggirkan, sebutan Walak diganti dengan Distrik dan sebutan Kepala Walak diganti dengan Kepala Distrik serta mendapat gelar Hukum-Besar dan bagi Kepala Distrik yang dianggap berjasa diberi gelar Majoor.
Tiap-tiap Distrik terdiri dari  beberapa Distrik bawahan yang dipimpin oleh seorang Hukum-Kedua, berbeda dengan “Hukum Kedua” sebelumnya, yang dimaksudkan sebagai Wakil Kepala Walak.
Pada tahun 1881, Kepala Distrik atau Hukum Besar maupun Hukum Kedua dijadikan pegawai serta digaji oleh Hindia Belanda dengan kata lain menjadi orang gaji atau pegawai Belanda dan pada tahun 1892 mereka bisa ditempatkan atau ditugaskan dimana saja di Minahasa dan tidak lagi dianggap sebagai Kepala Suku atau Kepala Adat.
Begitu juga dengan Distrik-distrik atau Wilayah Walak-walak di Minahasa tidak lagi sebagai Wilayah-wilayah Adat [Pakasaan] tetapi dirubah menjadi Distrik-distrik tata praja [Distrik administratif].

Akhirnya istilah-istilah atau gelar asing tersebut diatas [Hukum] didegradisir hanya sebutan untuk Kepala Kampung atau Desa, Hukum Tua. Dan hal yang dari awal telah keluar dan mengingkari ketentuan adat Minahasa ini masih dipakai sampai saat ini.
 
Laikit – Minahasa, 5 Agustus 1994