dinsdag 30 juli 2013

UPACARA ADAT MINAHASA

 Pada acara kematian orang Minahasa tempo dulu, telah dikenal dua bagian upacara adat. Pertama adalah upacara adat Ngolongan atau "Mangolongan", upacara ini berbentuk tarian yang ditujukan kepada jenazah yang akan dimasukkan dalam batu kubur Waruga .
Kedua adalah upacara adat Rumou'tana' upacara ini dilakukan pada hari ketiga dengan membawa rumah-rumahan dari kayu yang disebut Balongsong kesuatu tempat yang jauh dari rumah yakni di ladang atau kebun milik orang yang meninggal dunia.
Upacara ini khusus ditujukan kepada roh orang yang meninggal agar meninggalkan rumah semasa hidupnya dan berpindah ke rumah-rumahan yang disebut Balongsong .
Dan, dari tempat itulah roh yang sudah mati akan naik ke langit menjauhi bumi.

          Waruga dan Balongsong sama-sama penting dalam upacara kematian. Tapi, karena Balongsong terbuat dari kayu maka cepat membusuk, lapuk dan hilang dimakan waktu, berbeda dengan Waruga yang terbuat dari batu.
Satu-satunya Balongsong yang masih tersisa adalah Balongsong yang disimpan di museum Jakarta dengan nomor katalog 2895.A.
Balongsong ini dibuat untuk upacara kedukaan nyonya Hukum Kadua Tonsawang di negeri Kuyanga, Balongsong ini dibawa ke Jakarta (Batavia) pada tahun 1893.
Nyonya Hukum Kadua Tonsawang semasa hidupnya senang melakukan perjalanan dengan menunggang kuda, ketika seorang peneliti Belanda DR. W. R. Van Hoevell melakukan perjalanan dari Tonsawang ke Tombatu tahun 1856, dia pernah bertemu dengan nyonya Hukum Kadua ini, kisah pertemuan itu ditulis dalam bukunya " Fragment uit een reis verhaal " jilid III tahun 1856 halaman 82.
Kisahnya rombongan peneliti barat itu kemalaman ditengah hutan lebat menuju Tombatu, antara negri Mundung dan Kuyanga.
Tiba-tiba dia mendengar suara-suara wanita lalu muncullah tiga penunggang kuda wanita didahului oleh wanita tua yang telah berambut putih yang memperkenalkan diri sebagai nyonya Hukum Kadua Tonsawang.
DR. W.R. Van Hoevell terheran-heran melihat ketiga wanita ini yang berjalan di jalan yang tidak rata dan berbelok-belok turun naik, apalagi di tengah hutan lebat yang gelap dan hanya di terangi sinar bulan.

          Dari sini dapat kita mengerti mengapa Balongsong dari Tonsawang yang terdapat di museum Jakarta itu bermotif hias gambar manusia wanita dan gambar manusia diatas kuda.
Gambar ini dianalisa oleh penulis N. Graafland dalam bukunya " De Minahasa " jilid II tahun1898 halaman 39 sebagai gambar seekor anjing.
Tapi kemudian dikoreksi oleh penulis DR. Hetty Palm dalam bukunya " Ancient art of the Minahasa " halaman 5, dia mengatakan bahwa bukan gambar anjing yang ada di Balongsong itu, tapi gambar kuda.
Karena, sesuai dengan kegemaran si pemilik Balongsong, nyonya Hukum Kadua Tonsawang semasa hidupnya yang suka menunggang kuda .
Rumah Roh Balongsong di museum Jakarta itu sebagai benda " Anthropologi-religi " warna hitam putih, tinggi 130 cm, panjang 100 cm, lebar 38 cm punya hiasan dan ukiran serta bentuk yang dapat mengungkapkan konsep agama asli Minahasa mengenai roh manusia .
Nampaknya orang meninggal di Minahasa punya dua rumah, rumah untuk badan kasar (jenazah) di Waruga dan rumah untuk roh di Balongsong.

           Sekarang ini, kita ketahui adalah bahwa kubur orang Minahasa tempo dulu hanya Waruga yang artinya "Wale" (rumah), "Ruga" (terbongkar hancur) tempat jenazah berubah menjadi tulang-belulang.
Ternyata dalam upacara kedukaan Minahasa tempo dulu disiapkan dua rumah-rumahan untuk si yang meninggal
(1). Rumah-rumahan dari batu disebut Waruga untuk jenazah.
(2). Rumah-rumahan dari kayu disebut Balongsong untuk roh, yang diletakkan jauh dari rumah untuk persiapan        menuju negri langit .

           Perbedaan lainnya adalah bekal kubur dalam Waruga berupa barang bernilai yang menunjukkan status sosial seperti piring porselin, senjata tajam, emas, manik-manik.
Sedangkan isi dari Balongsong sangat sederhana yakni peralatan makan dan kehidupan seseorang di hari tuanya sebelum meninggal yang kembali pada kehidupan purba.

          Kita lihat laporan kisah perjalanan ilmuwan Alfred Russel Walles mengenai Minahasa dalam bukunya " Malay Archipelago " tahun 1869 halaman 384 - 385 :  " The major Tomohon (Roland Ngantung Palar) was dressed in a suit of black really looked gentlemanly, the major's father who was chief before him, lived in rude hut ruised on a lofly poles decorated with human heads, " Artinya, Hukum Besar Tomohon (Roland Ngantung Palar) berbusana hitam seperti tuan-tuan, ayahnya yang bekas Hukum Besar Tomohon yang dia gantikan, hidup dirumah sederhana dan berhiaskan tengkorak manusia.
Ayah Hukum Besar, major Tomohon bernama Palar adalah bekas letnan dalam perang Jawa yang kembali ke Minahasa tahun 1830 yang dimasa tuanya tahun 1869 hidup dipondok sebelah rumah anaknya yang waktu itu adalah pembesar (major) Kepala Walak Tomohon .

            Inilah gambaran penghidupan masyarakat Minahasa pada periode pra-kristen, dimasa lalu, tapi kebiasaan seperti itu masih penulis lihat pada masa tua penulis budayawan Minahasa H.M. Taulu.
Dimasa tuanya di Manado penulis lihat tahun 1981 tidak mau makan dipiring porselen tapi dipiring kaleng dan minum dari tampurung .

            Pembuatan Balongsong di Minahasa kemungkinan mulai menghilang tahun 1870-an sedangkan pembuatan Waruga masih berlanjut sampai tahun 1900-an, hingga Balongsong di museum Jakarta asal negeri Kuyanga Minahasa sangat penting diteliti karena mengandung nilai konsep orang Minahasa mengenai roh jiwa manusia.
Kebiasaan orang Minahasa sekarang ini membuat kursi dan meja kecil di kubur orang yang baru meninggal adalah kelanjutan tradisi Balongsong.
Tapi tradisi membuat kursi dan meja mini di dekat kubur memberi kesan mendekatkan peralatan roh si mati dengan jenazah atau tulang-belulang si mati.
Sedangkan konsep orang Minahasa tempo dulu membuat Balongsong adalah untuk menjauhkan roh si mati dengan jenazahnya, supaya roh si mati melupakan badan kasarnya yang bersifat duniawi.

            Bagi masyarakat biasa yang tidak dimakamkan pada batu Waruga untuk menghormati jenazah si mati, tetap harus dibuatkan rumah roh Balongsong agar roh si mati dapat menemukan jalan ke negeri langit dan tidak kembali ke bumi sebagai hantu.

           Gambar sketsa rumah-rumahan peti kayu Balongsong terlihat ada sayap-sayap dikiri-kanan, sayap paling atas menggambarkan kepanjangan bubungan rumah adat Minahasa .
Dibagian bawah atap segi tiga terdapat soldor atau loteng yang dalam upacara adat termasuk bahagian yang paling suci dari seluruh rumah.
Sayap-sayap dibawahnya memberi kesan haluan perahu Minahasa yang bukan perahu penangkap ikan, tapi perahu pelayaran antar pulau atau perahu pengangkut jarak jauh. Memberi kesan "Perahu Hayat" atau perahu yang membawah roh si mati ke negeri langit.
Pada sayap ada ada hiasan kotak-kotak bertitik mirip motif hias kain tenun Bentenan yang disebut "Lengkey Wanua"
(Lengkey = tinggi, Wanua = negeri) negeri yang tinggi di langit.
Gambar manusia jenis wanita dalam bentuk gambar bayi dengan kedua tangan keatas, roh manusia yang meninggal kembali menjadi bayi untuk dilahirkan kembali ke negeri roh.
Gambar orang naik kuda juga memberi kesan perjalanan berkuda ke negeri langit .

            Bentuk Balongsong dan motif hiasnya tidak menggambarkan status sosial si mati seperti motif hias pada Waruga, tapi simbolisasi perjalanan roh si mati ke dunia yang lain di langit .

Oleh :

Jessy Wenas

CAP TIKUS


C a p   T i k u s

               Siapapun yang datang mengunjungi daerah Minahasa, tentunya akan mengetahui jenis minuman tradisional Minahasa beralkohol tinggi yang lebih dikenal dengan "Cap Tikus".
Minuman yang diproduksi tanpa ada campuran kimia ini memang dihasilkan oleh para petani yang daerahnya banyak dipenuhi pohon "Seho" .
Minuman "cap tikus" ini dibuat sendiri oleh orang Minahasa dan orang Sangir dengan cara tradisional.
Sebelum dibuat "Cap Tikus", para petani harus "Batifar" dulu untuk menghasilkan minuman "Saguer" yang diambil dari pohon seho atau aren - dalam bahasa Minahasa disebut "Akel" .

               Saguer dibuat dengan cara tangkai bunga pohon aren yang sebesar pergelangan tangan orang dewasa, dibersihkan dan dipukul-pukul selama beberapa hari lalu dipotong.
Dari potongan ini akan keluar getah warna putih susu yang menetes dengan cepat hingga perlu tempat penampungan yang ukuran seruas bambu. Cairan warna putih susu inilah yang dinamakan Saguer.
Dalam pembuatan cap tikus, air saguer tadi dialirkan melalui pipa-pipa bambu yang sudah diatur sedemikian rupa. Uap panas yang melalui pipa bambu yang panjang ketika mencair akan berubah menjadi Cap Tikus.
Para pembuat Cap Tikus lebih suka memilih lokasi pegunungan yang dingin dan tempat berbukit supaya pipa bambu penyulingan tidak diatas pohon tapi dipermukaan tanah perbukitan.

               Legenda Minahasa mengenal dewa Makawiley sebagai dewa saguer pertama (Leway = busa saguer). Kemudian ada juga dewa saguer yang bernama Kiri Waerong yang dihubungkan dengan pembuatan gula merah dari saguer yang dimasak .
Dewa saguer yang ketiga adalah dewa Parengkuan yang dihubungkan dengan air saguer yang menghasilkan Cap Tikus . Parengkuan mempunyai kata asal "rengku" artinya, minum sekali teguk ditempat minum yang kecil.
Dari arti kata tersebut maka orang Minahasa menyakini bahwa Parengkuan adalah orang Minahasa pertama yang membuat minuman Cap Tikus.

               Minuman keras tradisionil Minahasa ini pada mulanya bernama sopi. Namun, nama "Sopi" berubah menjadi Cap Tikus ketika orang Minahasa yang mengikuti pendidikan militer untuk menghadapi perang Jawa, sebelum tahun 1829, menemukan mimuman "Sopi" dalam botol-botol biru dengan gambar ekor tikus. Minuman "Sopi" itu dijual oleh para pedagang Cina di Benteng Amsterdam Manado.
Dalam upcara naik rumah baru, para penari Maengket menyanyi lagu Marambak untuk menghormati dewa pembuat rumah, leluhur Tingkulendeng . Tuan rumah harus menyodorkan minuman Cap Tikus kepada Tonaas pemimpin upacara adat naik rumah baru sambil penari menyanyi " tuasan e sopi e maka wale " artinya, tuangkan minumam Cap Tikus (sopi) wahai tuan rumah.

               Keterangan mengenai minuman Cap Tikus di Ternate ditulis oleh juru tulis pengeliling dunia Colombus dari Spanyol bernama Antonio Pigafetta. Setelah kapal mereka melalui dua buah pulau Sangir dan Talaud lalu tanggal 15 Desember tahun 1521 mereka tiba di pelabuhan Ternate - dijamu Raja Ternate dengan minuman arak yang terbuat dari air tuak yang dimasak.
Sayang sekali buku "Perjalanan keliling dunia Antonio Pigafetta" terbitan tahun 1972 halaman 127 - 128 tidak menjelaskan dari mana Raja Ternate mendapatkan minuman Cap Tikus.
Kalau kita lihat masyarakat Ternate tidak punya budaya "Batifar" hingga kemungkinan besar minuman Cap Tikus sama halnya dengan beras yang didatangkan ke Ternate dari Minahasa.
Budaya produksi dan menjual minuman Cap Tikus masih berlanjut di Minahasa hingga sekarang ini dengan penjualan sampai ke Irian.
Data ini menunjukkan bahwa bukan orang Spanyol yang mengajarkan cara membuat minuman Cap Tikus di Minahasa.
Karena , waktu pertama kali orang Spanyol datang di Ternate, minuman itu sudah ada.
Bagi orang Spanyol, minuman Cap Tikus telah menjadi bumerang karena melalui minuman itulah orang Spanyol di usir dari Minahasa. Hal itu terjadi karena serdadunya suka mabuk-mabukan dan akhirnya membunuh Dotu Mononimbar di Tondano dan melukai anak Kepala Walak Tomohon tahun 1644.

               Masa hidup dewa minuman keras Minahasa Opo Parengkuan adalah sebelum periode kedatangan bangsa kulit putih Portugis - Spanyol di Minahasa tahun 1512 - 1523.
Pada waktu itu pedagang Cina dengan perahu yang telah datang membawa keramik ke Minahasa.
Dari usia dinasti keramik Cina di Minahasa abad 13 dan abad 14, dapat diperkirakan bahwa orang Cina-lah yang mengajarkan orang Minahasa untuk membuat minuman keras Cap Tikus dengan menyuling Saguer .

               Tapi menurut buku " Adatrechtbundels XVII. 1919 halaman 79 " , minuman keras tradisionil ini telah menyelamatkan orang Minahasa dari ketergantungan Candu dan Opium di abad 18.
Karena orang Minahasa sangat mencintai minuman Saguer dan Cap Tikus, maka orang Minahasa sudah tidak tertarik lagi dengan candu dan opium, walaupun harganya cukup murah.

               Cerita ringan yang sedikit mengandung unsur sejarah ini dapat dijadikan contoh bagi generasi muda sekarang agar menjauhi narkotik yang memang sudah dilarang Opok -Opok dan Dotu -Dotu Minahasa tempo dulu.
Oleh :

Jessy Wenas

zondag 28 juli 2013

perempuan minahasa

Naskah di bawah ini adalah tulisan rintisan untuk maksud penulisan buku dengan judul yang sama. Anda diperkenankan mengutip/menyalin tulisan ini dengan memperhatikan hak cipta, demi hormat dan kemuliaan Bangsa Minahasa.


Tokoh Wanita Minahasa


Bangsa Minahasa memiliki perempuan yang berprestasi. Ini dapat ditelusuri pada leluhur bangsa ini yang adalah wanita. Cikal bakal Minahasa ini bernama Lumimuut yang dipelihara oleh seorang perempuan tua bernama Karema. Lumimuut ini mengawini Toar, anaknya sendiri karena situasi Malesung saat itu yang tidak berpenghuni. Dari keturunan Toar-Lumimuut terbentuklah suatu bangsa yang bernama Malesung yang sekarang dikenal dengan Minahasa. Pada mulanya sistem kekerabatan di Malesung adalah menurut sistem matrilineal, yaitu keturunan yang berdasarkan atas garis keturunan perempuan. Pada perjalanan sejarahnya, sistem kekerabatan Malesung berubah menjadi sistem patrilieal, yaitu sistem kekerabatan yang berdasarkan atas garis keturunan pria seperti penggunaaan fam dewasa ini.

Dalam sejarah bangsa Minahasa, kaum perempuannya memiliki prestasi yang tidak bisa diabaikan. Beberapa kali wanita-wanitanya menjadi tonggak suatu sejarah. Pada masa legenda dahulu ada sejumlah wanitanya yang menjadi pahlawan seperti Lumimuut dan Karema sendiri, Pingkan Tiwow dari Buyungon, Pingkan Mogogunoi dari Tanawangko, Ratu Oki dari Tombatu, Woki Konda dari Pasan-Ratahan, dan lain sebagainya.

Pada era sekarang ini dapat kita catat prestasi sejumlah wanita Minahasa tersebut. Mereka adalah Wilhelmina Warokka (Mien) – seorang guru wanita pertama di Meisjesschool Tomohon, Ny. Maria Y. Walanda-Maramis – seorang pemerhati status sosial kaum wanita Minahasa, Wulankajes Rachel Wilhelmina Ratulangi (kakak Dr. Sam Ratulangi dan istri Mayoor A.H.D. Supit) – wanita Indonesia pertama yang merebut ijasah K.E. (Kleinambtenaar) tahun 1898, Wulan Ratulangi (kakak kedua Dr. Sam Ratulangi) – wanita Indonesia pertama yang berhasil memperoleh ijasah Hulpacte tahun 1912, Nona Marie Doodoh – orang Indonesia pertama yang lulus Europeesche Hoofdacte, Stientje Ticoalu-Adam – pembicara dalam Kongres Pemuda Indonesia tahun 1926 dan 1928, Johana Masdani-Tumbuan – pembaca teks Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda tahun 1928, Ny. S.K. Pandean – singa betina dari Minahasa, Dr. Marie Thomasdokter wanita pertama Indonesia lulusan STOVIA tahun 1922, Dr. Anna Warouw – dokter wanita ketiga Indonesia lulusan STOVIA tahun 1924, Dr. Dee M.A. Weydemuller – dokter wanita kedua Indonesia lulusan NIAS Surabaya 1924, Prof. Dr. Annie Abbas-Manoppo – sarjana hukum wanita pertama Indonesia lulusan HKS Batavia tahun 1934 juga guru besar wanita pertama Indonesia, Ny. A. M. Tine Waworoentoe (anak A.L. Waworuntu) – walikota wanita pertama Indonesia tahun 1950, Antonetee Waroh – anggota parelemen wanita pertama di Indonesia Timur, Dr. Agustina/Zus Ratulangi (anak Dr. Sam Ratulangi) – anggota parlemen wanita & termuda di Indonesia, Pdt. Tine Lumentut – dianggap sebagai wanita pertama di dunia yang memgang jabatan setingkat Uskup Agung dalam kapasitasnya sebagai Ketua Sinode GKST (setingkat Uskup Agung). Selain itu kita mengenal Marianne Katoppo, STh, sastrawan wanita Indonesia, Vonny Anneke Panambunan – wanita yang menjadi Bupati Minahasa Utara sejak tahun 2005, Linneke Sjenny Watoelangkow – wanita yang menjadi Wakil Walikota Tomohon sejak tahun 2005.

Wilhelmina Warokka (Mien)

Nama : Wilhelmina Jacomina Warokka
Nama populer : Mien
Lahir :
Meninggal :
Keluarga:
Ayah : Henrik Alanos Warokka
Ibu : Jacoba Tumangken
Suami : E.W.J. Waworuntu (Pius)
Saudara:
  • Kakak:
  1. Willem Henri Warokka
  2. Calasina Justina Warokka
  3. Adeleida Adriana Warokka
  4. Johanna Carolina Estevina Warokka
  5. Lambertus Alanos Warokka
Adik:
  1. Martha Adeleida Warokka
  2. Martje Warokka
  3. Alexander Frederik Daniel Warokka
  4. Maria Bokky Warokka
Anak : 8 anak

  • WAROKKA, Wilhelmina ‘Mien’WAWORUNTU-, Putri Kepala Distrik Kawangkoan Mayoor H.A. Warokka. Sekolah di Sekolah Nona (Meisjesschool) Tomohon, dan lulus 1886, langsung diangkat menjadi guru wanita pertama. Menikah usia 15 tahun dengan Exaverius Walewangko ‘Pius’ Waworuntu yang belakangan menjadi Kepala Distrik Sonder. Ibu 8 anak (2 putri menjadi guru, ada hukum kedua di Manado, dan seorang menjadi walikota Manado)

    guru wanita pertama di Meisjesschool Tomohon, dan memberinya 8 anak (2 putri menjadi guru, ada hukum kedua di Manado, dan seorang menjadi walikota Manado).

    Louwerier pada tanggal 1 November 1881 mensponsori pembukaan Meisjesschool (Sekolah Nona) di Kuranga. Sekolahnya berbahasa Belanda, dengan para murid merupakan anak-anak perempuan tokoh masyarakat dan pemerintahan. Lalu sebagai imbangannya didirikan HIS Jongenschool di Talete (untuk asrama dan rumah direktur) dan persekolahan di Paslaten disamping gereja besar.
    Sebagai kepala sekolah Meisjesschool adalah Gysbertha C. Krook dengan murid pertama 33 orang. Sekolah ini kelak digabung dengan Jongenschool menjadi Louwerierschool yang terkenal.

    Tomohon di masanya jadi pusat kegiatan Indische Kerk dengan adanya STOVIL dan Sekolah Nona, selain pusat kegiatan NZG yang masih mempertahankan Kweekschool voor onderwijzers en voorangers di Kuranga serta sekolah-sekolah lain.

    Disamping Wilken dan Louwerier, sejumlah zendeling yang banyak membantu usaha-usaha mengkristenkan penduduk Tomohon dan banyak menghasilkan tenaga-tenaga cendekia pertama, dalam jabatan mereka sebagai Direktur Kweekschool Kuranga, adalah H.C. Kruyt (1886-1889, yang kelak ke Batak), A. Hulstra (1889-1890), J.H. Riebenk Rooker (1890-1926), H. Berends ten Kate (1926-1927) dan Jan Mulder (1927-1930).

    Selain itu ada Pendeta H.J. Moens yang bertugas tahun 1895-1896, lalu Zendeling A. Limburg yang tahun 1893 jadi Kepala Jongenschool dan sejak 1895 selaku Kepala Meisjesschool.
    Untuk itu di tahun 1881, dibuka sekolah wanita Meissjeschool, atau sekolah Nona, di Kuranga, khusus untuk anak-anak wanita dari orang terkemuka, dipimpin kepala sekolah Gysbertha C. Krook.

    Awalnya sekolah ini memakai gedung Sekolah Guru ketika sempat ditutup, lalu dipindah ke Kaaten. Sekolah tersebut merupa-kan SD 6 tahun berbahasa Belanda, lengkap dengan asrama, sebagai imbangan dari Sekolah Raja (Hoofdenschool) yang dibentuk pemerintah Belanda di Tondano. Gijsberta Krook memimpin hingga meninggal dunia tahun 1886 dalam usia 36 tahun dan dikuburkan di Talete I. Kepala sekolah Meisjesschool terkenal lainnya sejak tahun 1895 adalah A. Limburg.

    Sekolah Nona yang terkenal di Kaaten.

    Hingga sebelum Perang Dunia ke-2, di Tomohon terdapat sebuah sekolah taman kanak-kanak (Frobel, kini TK ‘Sion’) di Paslaten, yang berdiri sejak bulan November 1935.

    Pelajar Sekolah Nona (Meissjesschool) bergerak jalan.

    Sementara untuk pengajaran rendah (Lager onderwjs), terdapat sekolah-sekolah dasar berbahasa Melayu. Seperti Volkschool, Inlands 2e kl. dan Vervolgschool. Sekolah Zending yang berbahasa Melayu, kebanyakan dibangun oleh NZG. Sekolah ini disediakan bagi anak-anak rakyat kebanyakan. Ada SD 3 tahun, 5 tahun dan 6 tahun. Seperti Sekolah berbahasa Melayu milik NZG yang terkenal dengan julukan Sekolah Undap (L. Undap) di Kamasi (kini kompleks asrama RSU Bethesda), dan lain-lainnya.
    Sekolah Rak-yat yang didirikan pemerintah Belanda di Tomohon, antara lain: Sekolah Kelas 2 (Tweede Inland-sche School) 5 tahun, milik Gubernemen Nomor 1 di Paslaten (II kini). Untuk Nomor 2-nya di SDN II Matani III kini. Sekolah Kelas I (Eerste Inlandsche Sch-ool) hanya terdapat di Manado.
    Pelajar Sekolah Nona tahun 1935.

    Ny. Maria Y. Walanda-Maramis

    Ny. Maria Y. Walanda-Maramis
    (1872-1924)
    Pahlawan Nasional Indonesia
    Nama : Maria Josephine Chatarine Maramis
    Nama populer : Ny. Maria Walanda-Maramis / Noni

    Lahir : Kema, 1 Desember 1872
    Meninggal : Maumbi, 22 April 1924
    Keluarga:

    Ayah : Bernardus Maramis
    Ibu : Sarah Rotinsulu
    Om : Esau Rotinsulu (Mayoor Tonsea)
    • Suami : Joseph Frederick Kalusung Walanda (menikah tahun 1891)
    • Anak :

      1. Wilhelmina Frederika Walanda
      2. Paul Alexander Walanda
      3. Anna Pawlona Walanda
      4. Albertina Pauline Walanda
    Pendidikan:
    Peranan-Peranan:
    - tanggal 8 Juli 1917 mendirikan PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya)

    Maria Walanda-Maramis dan suaminya pada peringatan hari pernikahan mereka.

    Maria Walanda-Maramis dilahirkan di Kema pada tanggal 1 Desember 1872 dari keluarga Maramis-Rotinsulu. Ia mempunyai dua orang kakak, masing-masing Altje Maramis dan Andries Maramis (ayah Mr. A.A. Maramis).
    Ketika baru berusia setahun, kedua orang tuanya meinggal dunia karena epidemi. Ia kemudian diambil oleh omnya yaitu T. Enoch Rotinsulu yang tinggal di Maumbi. Mereka mengasuh dan mendidik Noni seperti anak kandung mereka. Kemudian ia disekolahkan di SD Maumbi.
    Selama dalam asuhan keluarga Enoch Rotinsulu, Noni menunjukkan sifat-sifat sederhana, patuh, rajin dan cakap mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya seperti merawat rumah, memasak dan tugas lainnya sebagai wanita. Dalam tingkah lakunya sehari-hari sudah nampak sejak kecil kehalusan jiwanya, pengetahuan yang luas dan tinggi, berjiwa besar dan seorang wanita yang mempunyai cita-cita tinggi.
    Ibu Maria menikah di Maumbi dengan orang Tanggari bernama Joseph Frederick Kalusung Walanda tanggal 22 Oktober 1891. Setelah menikah Ibu Maria lebih dikenal dengan Ny. Maria Walanda-Maramis. Keduanya dikaruniai 4 orang anak, yaitu 3 orang putri dan seorang putra, masing-masing bernama Wilhelmina Frederika, Paul Alexander, Anna Pawlona dan Albertina Pauline.
    Dengan bantuan teman-temannya, Noni Walanda-Maramis mendirikan organisasi PIKAT, yaitu Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya, pada tanggal 8 Juli 1917 sebagai langkah pertama untuk mewujudkan cita-citanya.
    Melalui PIKAT, berdirilah Huis Houd School atau Sekolah Rumah Tangga PIKAT pada tahun 1918. Wanita yang diterima dalam sekolah ini adalah wanita-wanita pribumi (Minahasa, dll) baik dari golongan tinggi, menengah maupun rendah. Di sana diberikan pengetahuan tentang pengurusan rumah tangga, memasak, menjahit, etiket (sopan santun). Melalui lembaga pendidikan ini kedudukan kaum wanita pribumi Hindia-Belanda di Minahasa makin lama makin meningkat.
    Gubernur Jenderal Hindia Belanda:
    tahun 1909-1916 A.W.F. Idenburg (kiri), dan tahun 1916-1921 J.P. graaf Van Limburg Stirum (kanan).

    Maria Walanda-Maramis meinggal di Rumah Sakit Manado pada tanggal 22 April 1924 dan dikuburkan di Maumbi. Pada detik-detik terakhir mengakhiri hidupnya, Ibu Walanda-Maramis sempat berpesan kepada suami dan teman-temannya, “Tolong lanjutkan hidup anakku yang bungsu , yaitu PIKAT.” Suami dan teman-teman dekatnya yang begitu mengasihinya berjanji untuk memelihara dan melanjutkan PIKAT dan sekolahnya.
    Atas jasa-jasanya, melalui perjuangan BPP PIKAT dan pimpinan-pimpinan cabang di Manado, Kepala Inspeksi Sosial Sulut serta restu Gubernur Sulut H.V. Worang, Noni diusulkan kepada pemerintah untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Pemerintah RI dengan pertimbangan yang matang yaitu dengan memperhatikan perjuangannya yang tidak kenal pamrih dan tidak pernah padam demi kemajuan wanita dalam penindasan, menetapkan Maria Walanda-Maramis pada tanggal 20 Mei 1969 sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesia (Pahlawan Nasional Indonesia), sejajar dengan pahlawan-pahlawan wanita lainnya di Indonesia.



    Stien Adam
    Nama :Nama populer :
    Lahir :
    Meninggal :
    Keluarga:
    • Ayah :
    • Ibu :
    • Suami : Ticoalu
    • Anak :
    Stien Adam – Sumpah Pemuda 1928

    ADAM, Mr. Sientje ‘Stien’ TICOALU-, Tokoh wanita. Aktivis pemuda Minahasa di tahun 1920-an. Menghadiri dan menjadi salah satu pimpinan Kongres Pemuda yang lahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.


    Johana Masdani-Tumbuan

    Johana Masdani-Tumbuan(1910-2006)


    Nama : Johana Tumbuan
    Nama populer : Johana Masdani-Tumbuan / Jo
    Lahir : Amurang, 29 November 1910
    Meninggal : Jakarta, 13 Mei 2006
    Keluarga:
    • Ayah :
    • Ibu :
    • Suami : Masdani
    • Anak :


    TokohIndonesia.com:
    Nama : Johanna Masdani Tumbuan
    Lahir : Amurang, Sulawesi Utara, 29 November 1910
    Meninggal : Jakarta, 13 Mei 2006
    Suami : Masdani
    Pendidikan:
    - Christelijke MULO di Jakarta
    - Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1961
    Aktivitas:
    - Jong Indonesia
    - Palang Merah Indonesia
    - Pembimbing Pandu Rakyat Indonesia
    - Pemuda Puteri Indonesia
    - Pelaku sejarah rapat Sumpah Pemuda
    - Saksi sejarah detik-detik proklamasi
    - Pelopor Pejuang Puteri dengan pangkat Letnan I non-NRP
    -
    Penghargaan,al:
    - Medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia
    - Bintang Gerilya
    - Satya Lencana Penegak
    - Bintang Mahaputra Utama 1998
    Alamat Keluarga:
    Jalan Menteng Raya 25, Jakarta Jakarta Pusat



    Johanna Masdani (1910-2006)Bangsa Indonesia yang Sebenarnya

    “Saya menjadi bangsa Indonesia dalam arti kata yang sebenarnya,” kata Jos, panggilan akrab Johanna Masdani, saat ikut aktif dan terlibat dalam perkumpulan pemuda Indonesia di Gedung Indonesisch Clubhuis. Puteri bangsa kelahiran Amurang, Sulawesi Utara, 29 November 1910, ini berpulang Sabtu, 13 Mei 2006, dalam usianya yang 95 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka di Jalan Menteng Raya 25, Jakarta. Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Senin (15/5).
    Gedung Indonesisch Clubhuis tersebut saat ini dikenal sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Sebagaimana ditulis dalam buku Apa dan Siapa 1985-1986, yang diterbitkan majalah TEMPO pada 1986, berawal di gedung itulah siswa Christelijke MULO di Jakarta itu memulai keterlibatannya pada pergerakan Indonesia.
    Di sana ia bertemu dengan tokoh-tokoh kala itu, seperti Moh Yamin, Dr Rusmali, Mr Asaat juga dengan Masdani—mahasiswa kedokteran Stovia—yang kemudian mempersuntingnya.
    Dari Masdani, yang wafat pada Oktober 1967, itu Jos banyak belajar tentang keberpihakan kepada rakyat dan Indonesia. Jos yang lahir pada 29 November 1910 di Amurang, Sulawesi Utara, dan berasal dari keluarga yang berada memutuskan menjadi guru di Perguruan Rakyat, Gang Kenari, Jakarta setelah semua bantuan dari orangtuanya diputus hanya karena ia memulai perjuangannya.
    Dalam buku Apa dan Siapa tersebut disebutkan, Jos pernah menjadi stenotypist pada Departemen van Financien sambil terus aktif dalam Jong Indonesia. Lulus dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada 1961, ia kemudian mengajar di almamaternya itu.
    Semasa pergerakan, ia aktif dalam Palang Merah Indonesia, menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia serta menjadi aktivis sosial Pemuda Puteri Indonesia. Ia dikenal juga sebagai salah satu pelaku sejarah rapat Sumpah Pemuda dan menjadi saksi sejarah detik-detik proklamasi. Ia pun menjadi Pelopor Pejuang Puteri dengan pangkat Letnan I non-NRP.
    Dari Menteri Pertahanan Keamanan Ali Sastroamidjojo, ia memperoleh Medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia. Itu adalah satu dari delapan penghargaan yang diperolehnya dari Pemerintah Indonesia. Terakhir ia memperoleh Bintang Mahaputra Utama dari Presiden BJ Habibie tahun 1998. Semasa Soekarno, ia memperoleh Bintang Gerilya dan Satya Lencana Penegak dari Presiden Soeharto. (Kompas, 14 Mei 2006). ► e-ti/crs

    Wikipedia.org:
    Johanna Masdani (lahir 29 November 1910 di Amurang, Sulawesi Utara, meninggal 13 Mei 2006 di Jakarta), adalah seorang pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia. Ia dilahirkan dengan nama Johanna Tumbuan. Sebagai aktivis pemuda-pemudi menjelang kemerdekaan, Johanna banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh lain, seperti Mohammad Yamin, Dr. Rusmali, Mr. Assaat, dll. Ia pun bertemu dengan Masdani, juga seorang tokoh pergerakan yang kemudian melamarnya untuk dijadikan istri. Masdani telah meninggal mendahuluinya pada Oktober 1967.
    Saksi sejarah
    Johanna termasuk di antara 71 pemuda yang hadir dalam Kongres Pemuda Kedua, Oktober 1928 dan turut serta mengikrarkan Sumpah Pemuda yang berlangsung di sebuah gedung yang terletak di Jalan Kramat Raya no. 106 Jakarta Pusat.
    Selain itu, Jo -- demikian ia biasa dipanggil -- juga menjadi seorang saksi sejarah detik-detik Proklamasi Indonesia yang dilakukan oleh Bung Karno dan Bung Hatta ada 17 Agustus 1945. Ia juga ikut serta menyusun konsep pembangunan Tugu Proklamasi yang sederhana di depan rumah Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur (kini Jl. Proklamasi) no. 56, Jakarta. Tugu ini kemudian dibongkar oleh Bung Karno, namun dibangun kembali pada tahun 1980-an.
    Perjuangan
    Jo juga pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat di Gang Kenari, Jakarta, saat bantuan dari orangtuanya di kampung halaman terhenti. Ia juga aktif dalam Palang Merah Indonesia, menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia, serta menjadi aktivis sosial Pemuda Puteri Indonesia.
    Dalam catatannya pada tahun 1945 hingga 1949, Jo pernah menulis, “Roda revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa wanita. Demi kemerdekaan sampai titik darah penghabisan Merdeka atau Mati, tanpa pamrih membela bangsa dan negara tanah air Indonesia tercinta.”
    Di alam kemerdekaan, Jo menjadi mahasiswa psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Setelah lulus dari alma maternya, Jo mengabdikan diri sebagai dosen psikiatri sejak 1961. Pada tahun 1970-an, ia sempat pula mengambil pendidikan lanjutan di Amerika Serikat dan Inggris.
    Penghargaan
    Hampir sama seperti suaminya, Jo banyak mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada 1953 ia memperoleh medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia dari Menteri Pertahanan Keamanan Ali Sastroamidjojo. Pada 1958 ia mendapat Bintang Satya Gerilya dari Presiden Soekarno. Pada tahun 1967 semasa Presiden Soeharto, ia mendapat Bintang Satya Lencana Penegak. Ia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama pada tahun 1998 dari Presiden B.J. Habibie. Secara keseluruhan, Jo mendapat delapan bintang dari Pemerintah RI.
    Jo dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 15 Mei 2006.

    dinsdag 9 juli 2013

    TRADISI TOU MINAHASA

    Makna Budaya Kesehatan Reproduksi dan Penamaan Orang Minahasa
            
                                                Oleh: Albert Kusen

    SEBAGAIMANA diketahui bahwa salah satu sistem kepercayaan kesehatan yang sejak tempo doeloe sangat diperhatikan oleh orang Minahasa, adalah berkenaan dengan kesehatan reproduksi. Sistem kepercayaan kesehatan reproduksi ini berkaitan dengan upaya untuk mencegah segala gangguan atau ancaman kesehatan tehadap ibu selama kehamilan, persalinan maupun pascasalin. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mencegah agar sang ibu tidak mengalami gangguan kesehatan, dianjurkan kepada sang suami agar senantiasa memperhatikan apa yang dihendaki istrinya yang lagi hamil sampai pascasalin, seperti diungkapkan: ’’rei manun ka se tuama dei makiwe si wewene paar” (lihat Kusen 2002).
    Singkatnya, seorang ibu yang sedang hamil secara budaya, melalui petunjuk atau nasehat orang tua atau bidan desa (Biyang-Kampung), agar menaati segala hal yang tidak boleh dilakukan (pasooan). Misalnya, ibu yang sedang hamil tidak boleh berdiri di depan pintu; tidak boleh berjalan sendirian di malam hari; tidak boleh duduk di sudut meja, dan sebagainya. Apabila pantangan ini dilanggar, sang ibu akan mengalami kesulitan selama masa kehamilan, terlebih pada saat melahirkan bayi yang dikandungnya.

    Demikian juga pada masa pascasalin/setelah melahirkan (2 minggu), demi kesehatan dan keselamatan sang ibu, secara budaya diwajibkan untuk menaati kebiasaan atau tradisi, antara satu-dua minggu pascasalin. Selama masa pascasalin sang ibu diwajibkan melakukan upacara mandi ramuan tradisional yang disebut bakera.
    Proses pelaksanaan bakera biasanya ditangani langsung oleh bidan desa (biyang) yang menolong ibu sewaktu melahirkan bayinya. Adapun bahan-bahan ramuan yang disediakan oleh biyang, seperti:
    1) Daun-daunan (wiwi, kales merah dan putih, balacae).
    2) Akar-akaran (sese’mbanua, goraka, karimenga, kunere).
    3) Kayu-kayuan (kayu lawang, kayu cengkeh).
    4) Buah-buahan (jeruk, cengkeh).

    Mekanisme pelaksanaan bakera melalui proses sebagai berikut: 1) Semua bahan-bahan ramuan diiris-iris sampai halus, semuanya dimasukkan ke dalam pan besar (kure wangko), kemudian dimasak atau direbus di atas 3 buah batu sampai mendidih; 2) Setelah air mendidih, ramuan diaduk-aduk, selanjutnya didinginkan. Sementara itu, ketiga batu sebagai tempat memasak dibakar terus sampai merah;
    3) Selanjutnya, setelah dirasakan air dan bahan-bahan yang direbus sudah dingin, si ibu didudukan pakai kursi yang diletakkan sedemikian rupa di atas ke tiga batu yang sudah memerah/panas. Kemudian disiramlah air yang sudah dingin itu ke permukaan batu-batu tersebut. Ketika terjadi penguapan, si ibu segera menghirup uap air sampai dirasakan keseluruhan tubuhnya berkeringat. Apabila masih ada sisa air raramuan tersebut, dimanfaatkan untuk membersihkan dan mendinginkan tubuh si ibu (Kusen 1992).
    Makna tradisi bakera ini, berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, dan nilai bahwa ibu yang baru melahirkan, dianggap mengalami pendarahan secara simbolik dianalogikan banyak mengeluarkan unsur panas dari dalam tubuh si ibu. Sebagai konsekuensinya perlu dikembalikan unsur panas itu ke dalam tubuh si ibu melalui upacara bakera tersebut; sekaligus untuk membersihkan kondisi tubuh si ibu agar sehat dan kuat merawat sang bayi yang dilahirkan. Kecuali itu, untuk mencegah timbulnya penyakit yang paling ditakuti oleh ibu-ibu baru melahirkan, adalah penyakit ‘bantahang’ (darah putih naik di kepala), secara bio-budaya si ibu bisa mengalami gangguan jiwa atau risiko kematian/meninggal (Kusen 2002).

    Sistem Kepercayaan Persalinan dan Penamaan Bayi - ‘Potong Pusa’
    Menurut kepercayaan orang Minahasa tempo doeloe, seorang ibu hamil demi kelancaran persalinannya nanti, sesuai dengan petuah atau nasihat berdasarkan adat istiadat setempat diharuskan menaati segala hal yang bersifat pantangan (poso-poso/posan). Makanya, dalam menghadapi persalinan atau sebelum bersalin, biasanya orang tua sang ibu hamil akan memanggil Tona’as bersama dengan Biang Kampung (bidan) mengadakan upacara adat untuk mencegah segala ancaman atau gangguan berupa ruh halus (welana) yang dipercaya dapat mengganggu proses kehamilan.
    Suatu hal yang sering diberi nasihat kepada suaminya, diharuskan untuk menuruti apa yang diidamkan istrinya yang sedang hamil (mangidang), karena kalau tidak akan berimplikasi terjadinya gangguan psikis atau stress di mana hal ini akan mengganggu proses persalinan dan kesehatan si ibu (rei wangun ka ‘setuama dei makiwe si ‘wewene pa’ar).
    Demikian juga menjelang persalinan, selain memberi petuah-petuah yang berkaitan dengan posan, Tona’as akan memerintahkan agar semua barang (peti, lemari, pintu, jendela) dan ikatan-ikatan yang ada di dalam lingkungan rumah dibuka agar proses kelahiran berjalan lancar dan mudah (Kusen 2002).

    Seperti dimaklumi bahwa sebelum agama Kristen masuk di Minahasa, sudah menjadi tradisi orang Minahasa untuk melakukan upacara penamaan anak-‘potong pusa’.
    Mengalami peristiwa kelahiran bayi sungguh merupakan hal yang membahagiakan bagi orang tua si bayi dan keluarganya. Dalam konteks jenis kelamin, tidak dipersoalkan oleh keluarga, yang penting bayi lahir dengan selamat dan sehat. Biasanya pihak keluarga sudah menyiapkan nama sang bayi, dan sebagaimana biasanya sebelum pemberian nama, dilihat dulu kondisi fisik si bayi, apakah ada kemiripan dengan kakek (opa) atau nenek (oma) si bayi menurut garis keturunan ibunya maupun ayahnya. Hal ini dimaksud untuk menghormati pendahulunya.
    Setelah terjadi penamaan, langsung dilihat reaksi si bayi, kalau dia menangis dan melakukan gerakan-gerakan bermakna, itu berarti mendapat tanggapan positif dari leluhurnya. Jika si bayi hanya diam/tidak bereaksi, maka segera membatalkan nama yang sudah terlanjur diberikan untuk diganti dengan nama baru. Setelah si bayi memperoleh nama, sebelum digunakan untuk menyebut si bayi penetapan untuk meneguhkan nama resmi si bayi melalui upacara adat, di mana sebelum masuknya agama Kristen, si bayi dicelup (seperti dibaptis) di air sungai yang didahului dengan upacara ‘potong pusa’.

    Yang pasti bahwa mengenai isu penamaan bayi atau nama panggilan seorang anak yang diberikan oleh orang tua (leluhur) dilatarbelakangi oleh nilai-nilai positif. Seperti sebutan panggilan Tole (anak laki-laki), artinya sang anak sudah memiliki ketrampilan, Keke (anak perempuan), artinya sang anak cekatan dan rajin dalam mengurus rumah tangga. Sebutan panggilan Utu-Utu’u (panggilan anak laki-laki), artinya sang anak berperangai yang benar. Sebutan Wewene (perempuan), artinya memberi berkat bagi seisi rumah, sedangkan Tuama (laki-laki), artinya orang (laki-laki) yang sungguh-sungguh menjadi teladan, menjadi tulang punggung atau sandaran keluarga (dikomunikasikan oleh F. Parengkuan, 5/20/2010).#

    KUKIS CUCUR

    KUKIS CUCUR 32 RENDA....

    12 september 2011 om 18:31
    KUKIS CUCUR,BY:FRISKY TANDAYU.http://minahasaku.blogspot.com/2011/07/kukis-cucur-32-renda-kukisnya-para.html
    Bagi Tou Minahasa, kue yang satu ini pasti dikenal. Bisa ditemukan di acara-acara suka maupun duka. Tapi, kebanyakan orang melebel kue ini sebagai “kukis orang mati”. Ini tentu hanya mitos, sebab yang namanya kue, tetap saja kue. Dalam suasana apa saja, ia bisa disajikan. Mungkin, karena kue ini sering ditemukan di malam penghiburan di bangsal kedukaan, tiga malam atau acara mingguan.

    Namanya “kue cucur”. Dalam bahasa Melayu Manado, “kue” disebut “kukis”. Nama “cucur” tak terlalu jelas apa artinya. Kalau ditanya apa arti “cucur” kebanyakan Tou Minahasa hanya akan mengatakan bahwa sejak mereka tahu “kukis” itu, namanya sudah “cucur”. Tak tahu apa artinya. Mungkin, karena itulah sehingga kue ini sering dilekatkan dengan mitos-mitos tertentu.

    Kukis Cucur telah lama dikenal oleh Tou Minahasa. Bahkan kini kebanyakan mengklaim bahwa kue ini adalah khas dari Minahasa. Tempo dulu, menurut penuturan sejumlah orang, kue ini sering disajikan kepada tamu kehormatan. Sebab selain enak, kukis cucur ini memiliki bentuk yang khas. Bagian pinggirannya memiliki banyak renda. Renda pada bagian pinggirannya pun terbentuk sendiri ketika digoreng. Butuh keahlian khusus dalam membuat adonan kukis cucur yang dapat menghasilkan renda di bagian pinggirannya.

    Menurut Tante Masye Sulu, seorang perempuan asal Wanua Pinabetengan yang sudah bertahun-tahun membuat kukis cucur, untuk menghasilkan renda syaratnya haruslah menggunakan tepung beras asli dan “gula batu” atau gula aren yang diolah dengan baik. Kukis cucur yang terbaik memiliki 32 renda. Entah, apa artinya. Yang jelas kebanyakan Tou Minahasa memiliki pemahaman yang seperti itu. “Jadi kalo torang mo beking kukis yang barenda, torang musti pake topong beras yang nda campur tepung terigu. Depe gula batu lei musti tu bagus, yang nda mengandung kelapa,” ujar Tante Masye ketika ditemui Waleta Minahasa saat sedang meracik adonan kukis cucur di wanua Pinabetengan.

                Sekarang ini, untuk membuat kukis cucur, orang sudah menambahkan tepung terigu. Maksudnya agar jumlah kukis cucur yang dihasilkan lebih banyak. Selain itu, karena tepung terigu mudah didapat dan harganya masih lebih murah dari tepung beras, dan juga praktis karena tidak perlu lagi diolah. Di warung-warung, kebanyakan menjual tepung terigu yang siap pakai. “Sekarang orang so ja campur tepung terigu, supaya depe hasil kukis cucur banyak. Apalagi, tepung terigu torang gampang mo dapa, kong so nda perlu lei mo ba giling voor mo dapa depe topong,” ujar tante Masye.

                Di zaman ketika mesin giling tepung belum umum di Minahasa, untuk mendapatkan tepung beras, tou Minahasa harus menumbuk beras di lisung yang terbuat dari kayu. Membutuhkan tenaga ekstra untuk menumbuk beras. Karena harus beberapa kali ditumbuk, baru kemudian bisa mendapatkan tepung beras. Beras yang ditumbuk harus juga diayak menggunakan alat ayakan. Ini untuk mendapatkan tepung beras. Biasanya, hal ini beberapa kali dilakukan sebelum semuanya menjadi tepung beras.

                Sekarang zaman sudah berubah. Masih dengan bahan yang sama, yaitu beras, tapi sudah lebih mudah karena di mana-mana sudah tersedia mesin giling tepung. Sehingga, membuat kukis cucur di zaman ini sudah sangat mudah. Yang tidak berubah dari kukis cucur ini adalah warnanya yang merah kecoklat-coklatan dan rasanya yang legit. Dan memang kukis cucur bentuknya “item legit”, kata orang orang Jawa.

                Kukis cucur paling “sadap” kalo disajikan bersama kopi yang hangat. Kukis cucur juga cocok disantap di sore hari ketika menikmati waktu istirahat setelah seharian bekerja. Apalagi, kalo disantap bersama keluarga di bagian place rumah. “Maar sebenarnya, kukis ini, biasa orang bilang “kukis rame-rame”, lantaran satu kali torang beking, boleh banyak orang mo makang. Sudara deng birman-birman, boleh mo makang sama-sama,” kata tante Masye.



    Kukisnya Para Perawan

    Ada cerita menarik seputar kukis cucur ini. Renda di pinggiran kukis cucur, ternyata tidak sekadar soal kencantikkannya. Namun juga, memiliki nilai dan falsafah hidup. Konon, kukis cucur yang memiliki 32 renda hanya dapat dihasilkan dari tangan seorang perawan atau perempuan yang menikah ketika masih perawan. Cerita ini sudah turun temurun di Wanua Pinabetengan. Tentu, sekarang sudah ditafsir secara baru.

    “Depe cerita yang turun temurun pa torang, ini kukis mo jadi 32 renda kalo yang ba beking masih perawan atau perempuan yang waktu dia kaweng masih perawan. Kita lei nda tahu ini butul atau cuma cerita,” ujar Tante Masye.

                Di Wanua Pinabetengan sendiri masih banyak orang yang percaya dengan cerita ini. Sehingga, pengantin perempuan yang baru menikah, jika tinggal di rumah menantu, biasanya sang ibu mertua akan menyuruhnya untuk membuat kukis cucur bagi seluruh anggota keluarga. Tapi, sekarang ini, rupanya kebiasaan tersebut hanya mengikuti kebiasaan, sebab tidak ada penilaian atau ganjaran khusus jika kukis cucur yang dibuat si pengantin perempuan tidak menghasilkan 32 rendah. “Sekarang katu, so nda talalu jadi ukuran menilai perawan atau nyanda. Mungkin kurang ja lia akang dia tahu kerja atau nyanda,” terang Tante Masye sambil tertawa.



    Cara Membuat

    Bahan-bahan kukis cucur mudah didapat dan sangat sederhana. Untuk membuat sekitar 30-an buah kukis cucur bahan-bahan yang kita perlukan adalah: 1 liter beras untuk digiling menjadi tepung beras, “gula batu” kira-kira setengah kilogram dan air putih satu liter (atau disesuaikan dengan kekentalan adonan). Di wanua lain, ditambah juga dengan kayu manis secukupnya. Jika ingin membuat kukis cucur dalam jumlah yang banyak, bisa ditambahkan tepung terigu secukupnya.

    Proses pembuatannya tidak rumit. Pertama-tama, didihkanlah air putih dengan gula batu yang dihancurkan hingga gula larut bersama air. Dinginkan larutan gula batu tersebut. Setelah dingin, tambahkan tepung beras, kemudian aduk hingga adonan merata.

    Siapkan wajan berisi minyak kelapa yang dipanaskan di atas kompor atau dodika jika masih menggunakan kayu bakar. Nyala api jangan terlalu panas agar kukis cucur yang digoreng tidak mudah hangus. Untuk mengangat kukis cucur yang digoreng kita memerlukan 3 bilah bambu. Agar ukuran kukis cucur yang kita dapat merata, ada baiknya kita menggunakan sloki yang sedang.

    Menggoreng kukis cucur  tidak sama dengan menggoreng pisang goreng. Kukis cucur digoreng satu persatu. Lama menggoreng kira-kira 1 menit per satu buah dengan api yang tidak terlalu panas. Bagian yang sudah matang, dibalik agar bagian yang lain juga matang. Kukis cucur yang dipastikan sudah matang, jangan langsung diangkat keluar dari wajan. Gunakan bilah bambu untuk meniriskan minyak dari kukis cucur dengan cara tusukan bila bambu tersebut di bagian tengahnya. Kue cucur yang sudah selesai ditiriskan ditaruh di sosiru atau baskom yang sudah disediakan.  Bilah bambu yang lain digunakan secara bergantian untuk kukis cucur yang lain. Begitu seterusnya yang dilakukan sampai selesai.

    Selesailah sudah kita membuat kukis cucur. Tinggal menyantapnya bersama dengan minuman kopi hangat. Jangan lupa ajak suami, istri atau menantu. Kalo banyak yang dibuat ajak juga para birman (tetangga) terdekat agar acara keluarga kita rame.

    FILOSOFI BANGSA MINAHASA

    Setiap bangsa yang ingin mempertahankan jati dirinya, harus menghargai warisan suci tradisi dan budaya dari para leluhurnya; Kita (bangsa Minahasa) harus memelihara dan mempertahankan tradisi dan budaya bangsa Minahasa dengan segenap kemampuan dan semangat, karena semangat itu sendiri tidak lain mengandung tradisi dan budaya Minahasa. (Dr. Sam Ratulangi: Fikiran - 31 Mei 1930)
     Saya tidak akan mempermasalahkan apakah keberadaan bangsa kami Minahasa disukai atau tidak, karena itu adalah permasalahan teoritis. Bagi saya dan bangsa saya Minahasa, sudah jelas, bahwa kami memiliki hak untuk eksis.
     Jadi, tugas kami adalah bagaimana menjamin kelanjutan eksistensi bangsa Minahasa ini, dan sedapat mungkin memperkecil penetrasi asing. Kami berusaha untuk merumuskan suatu tujuan yang sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan rakyat kami dalam menjalankan tugas tadi. Dan agar usaha-usaha kami itu dapat diterima dan dihargai, kita perlu mengenal hal-hal yang mendasarinya, yaitu: posisi Minahasa selama ini terhadap negara-negara sekitarnya. ("Het Minahassisch Ideaal" / Cita-cita Minahasa oleh DR. GSSJ Ratu Langie, ‘s-Gravenhage, Belanda - 28 Maart 1914)

    CERITA RAKYAT MINAHASA

    Luah Use'ban
    Dari Heroisme Baraney Hingga Misteri Penunggu Danau



    Oleh: Hendra Mokorowu*

    Sejarah tutur masyarakat Tonsawang mengisahkan, dahulu kala wilayah Tombatu digenangi air yang membentuk danau besar yang kemudian dikeringkan oleh Nawo (leluhur) Lelengboto dengan menancapkan siou dele i ketan” (sembilan ‘lidi’ enau) sehingga membelah bukit Basian yang sekarang dikenal dengan ‘gunung potong’ di sebelah tenggara desa Kuyanga Tombatu Minahasa Tenggara. Wilayah danau yang dikeringkan ini, masih tertinggal sisa air yang menempati lubang-lubang tanah yang menjorok ke dalam tanah sehingga membentuk danau-danau kecil antara lain: Danau Kawelaan, Seledan, Bulilin, Pomubuan, Sosong, Tutud, Kuyanga, Use’ban, Derel.

    Luah Use’ban

    Luah Use'ban berasal dari bahasa Tonsawang, Luah = danau, Useban = tanami padi. Nikodemus Pangemanan, tua-tua adat Tonsawang menuturkan, danau Useban merupakan penanda kampung yang berkaitan dengan pertempuran antara Baraney (ksatria Minahasa) dan Bogani (kstaria Bolmong) dimana para Baraney dengan gagah berani mempertahankan wilayah tanah Minahasa. “Salah satu Bogani yang tewas  ditancapkan seperti menanam padi di tengah danau ini dengan posisi kepala di bawah. Jadi luah Use’ban dipahami sebagai danau tempat musuh dikubur seperti menanam padi,” kata Pangemanan yang biasa disapa dengan Mawit.

    Kisah lain mengungkapkan bahwa di danau Use’ban tinggal penghuni, sesosok perempuan tua berambut putih panjang yang bernama “Imbit” (Bahasa Tonsawang=pakaian kebun) “Sejak dahulu, jika ada anak-anak yang mandi di danau, pada waktu itu dilarang oleh orang tua agar jangan sampai meneriaki ‘paimbitan’ ke danau ini. Jika itu sampai dilakukan maka penghuni danau ini akan marah dan sesuatu yang buruk akan terjadi pada danau yang akan berakibat negatif pada penduduk desa Tombatu,” terang Tomy Dopong, salah seorang masyarakat di sekitar danau.

    Danau Use’ban bersebelahan dengan danau Derel dan berada di bagian selatan, kira-kira 1 km dari desa Tombatu. Sebagian warga desa Tombatu masih meyakini bahwa danau ini adalah salah satu tempat yang masih angker. Keyakinan penduduk setempat sudah tertanam lewat cerita turun-temurun tentang adanya penjaga atau penghuni danau yang acap kali oleh orang-orang menyebutnya “panunggu”. Seperti kejadian aneh yang pernah saya alami secara pribadi  pada tahun 1999, ada sekumpulan pohon ‘katu’ yang luasnya kira-kira seperti satu buah rumah sederhana. Kumpulan pohon katu ini berpindah/berjalan dari sisi danau yang satu ke sisi danau yang di seberangnya. Setelah beberapa hari kemudian, kupulan pohon katu ini berpindah lagi ke sisi danau yang lainnya. Pada saat berjalan/berpindah, posisi pohon berdiri tegak seperti biasanya. Yang menjadi pertanyaan saya waktu itu, kenapa bisa pohon-pohon katu ini berjalan? Rasa penasaran itu kemudian sedikit terjawab dengan penjelasan dari Frans Mokorowu, yang sehari-harinya bekerja sebagai nelayan di danau ini.

    “Dari dulu ini pohong katu memang sering bajalang sandiri,” katanya. Ia juga mengungkapkan bahwa menurut keyakinannya, yang menggerakkan pohon-pohon ini adalah “penunggu” di danau ini atau “Imbit”.

    Pernah suatu hari pada saat pohon ini berjalan, Mokorowu mengamati secara langsung dari dekat. Dengan memakai perahu kecil, ia membuntuti jalannya kawanan pohon katu ini. Kemudian dia amati di dalam air, di bawah pohon-pohon ini tidak ada ikan besar atau binatang lainnya berukuran besar yang mampu membawa pohon katu ini berjalan. Saat bersamaan, ditatapnya  juga pohon-pohon sekeliling danau jika ada yang sedang tertiup angin keras, tapi tidak ada. Hembusan angin di atas danau juga biasa-biasa saja dan kemungkinannya tidak mampu memindahkan kumpulan pohon katu ini. “Akibatnya banyak jala penangkap ikan milik saya menjadi rusak atau robek-robek padahal  baru saja dipasang,” kata nelayan ini.



    Mokorowu juga mengisahkan bahwa di danau ini dahulu sering terlihat ada kejadian aneh, air yang tiba-tiba berwarna hijau. Pengalaman itu seperti yang juga pernah saya alami. Air yang tadinya jernih menjadi kabur kehijauan dan berlendir. ‘Bilong’, sebutan orang Tombatu adalah sejenis ganggang air tawar yang berwarna hijau. Pada saat bilong ini mulai muncul ke permukaan air, awalnya berbentuk bulat panjang berkelok-kelok seperti ular besar yang diameternya seperti batang pohon kelapa. Awalnya satu yang muncul ke permukaan air, beberapa menit kemudian muncul lagi satu dan muncul lagi, muncul lagi, muncul lagi sehingga kelihatan seperti banyak ular hijau berukuran besar dalam air yang bergerak naik ke permukaan. Kira-kira setelah 30 menit sesudah itu, wajah permukaan air danau menjadi hijau total dan airnya berlendir.

    “Saat-saat bilong ini muncul adalah jika ada mongimbala’ (hujan panas) dan mendung pada sore hari.  Kejadian ini berulang terus setiap harinya pada tahun 2000. Hal ini masih berlangsung sampai pada tahun 2002 dan sejak saat itu sampai sekarang bilong di danau Use’ban tidak pernah muncul lagi,” ungkap Mokorowu.



    Foto: Danau Use'ban Tombatu yang menyimpan banyak kisah dan misteri.


    cerita rakyat minahasa 2

    Alkisah, di daerah Minahasa, Sulawesi Utara, hidup seorang janda tua yang miskin bersama dua orang anak gadisnya. Mereka tinggal di sebuah gubuk di bawah sebuah pohon yang rindang dan teduh. Cara hidup mereka cukup unik, yakni hidup seperti seekor ayam. Mereka baru mencari makan pada saat waktu makan tiba. Jika ingin makan pagi, mereka baru mencarinya pada pagi hari, dan jika ingin makan siang, mereka pun baru mencarinya pada waktu siang hari. Demikian seterusnya. Mereka melakukan hal itu karena hutan di sekeliling mereka menyediakan berbagai jenis buah-buahan dan hasil-hasil hutan lainnya. Di hutan sekitar tempat tinggal mereka ada seekor burung kekekow yang sangat baik kepada kedua anak perempuan tersebut.
    Pada suatu ketika, musim buah-buahan di daerah mereka telah lewat semua. Tak satu jenis pun pohon yang berbuah. Janda tua dan kedua anak gadis itu kesulitan mencari makan. Mereka sudah menjelajahi hutan kesana-kemari namun tidak juga menemukan adanya pohon yang berbuah. Suatu siang, sepulang dari hutan, kedua anak gadis itu beristirahat di bawah sebuah pohon mangga tidak jauh dari gubuk mereka. Mereka duduk bersandar di pohon sambil memegang perut karena menahan rasa perih dan lapar.
    “Kak, perutku terasa perih sekali. Ke mana lagi kita harus mencari makan?” keluh si Bungsu.
    “Entahlah, Dik! Perutku juga terasa lapar sekali. Kita sudah mencari ke sana kemari, tapi tidak ada lagi yang dapat kita makan,” sahut si Sulung.
    Baru saja berkata demikian, tiba-tiba kedua gadis itu dikejutkan dengan sebuah benda berwarna kuning jatuh di dekat mereka. Setelah mereka lihat ternyata benda itu adalah sesisir pisang emas yang sudah masak.
    “Hei, kenapa ada buah pisang jatuh dari atas pohon mangga?” tanya si Sulung heran.
    “Aku juga tidak tahu, Kak. Jangan-jangan ada orang yang menjatuhkannya dari atas pohon,” ucap si Bungsu.
    Namun, setelah menoleh ke atas pohon itu, mereka tidak melihat ada siapa-siapa. Mereka hanya mendengar ada suara burung kekekow sedang bernyanyi dengan suara yang merdu.
    “Keke…kow…, keke kow…, keke kow…!!?”
    Rupanya burung kekekow itu mengerti kalau kedua gadis miskin tersebut belum mendapatkan makanan untuk makan siang. Ia pun memberikan lagi kepada mereka berbagai macam buah-buahan, seperti pepaya, jambu air, dan mangga. Namun demikian, burung kekekow tidak mau memperlihatkan dirinya kepada kedua gadis itu. Maka, usai memberikan buah-buahan tersebut, ia pun segera terbang meninggalkan pohon itu.
    Sementara itu, kedua anak gadis tersebut masih berdiri bengong di bawah pohon sambil memerhatikan berbagai macam makanan tersebut. Mereka seakan-akan tidak percaya terhadap apa yang baru mereka saksikan. Meskipun merasa sangat lapar, mereka tidak langsung memakan buah-buahan tersebut, melainkan berlari ke gubuk untuk melaporkan kejadian itu kepada ibu mereka.
    “Apa yang terjadi, Anakku? Kenapa kalian berlari tergopoh-gopoh begitu?” tanya ibunya.
    Dengan perasaan bimbang bercampur gembira, kedua gadis itu menceritakan semua peristiwa yang baru saja mereka alami. Mendengar cerita kedua anaknya itu, sang Ibu pun merasa heran bercampur gembira.
    “Ayolah, Bu! Kita ke sana melihat buah-buahan itu!” ajak si Sulung sambil menarik tangan ibunya.
    Sang ibu pun segera memenuhi ajakan anaknya. Sesampainya di bawah pohon mangga itu, tampaklah oleh ibunya berbagai macam buah-buahan.
    “Waaahhh, ajaib sekali!” ucap sang Ibu dengan perasaan takjub.
    Akhirnya, mereka pun membawa seluruh buah-buahan tersebut ke gubuk mereka. Oleh karena perasaan lapar sudah tidak tertahankan, mereka segera melahap buah-buahan tersebut. Alangkah senang hati ibu dan dua anak gadis itu.
    Keesokan harinya, saat hari menjelang siang, kedua gadis itu kembali duduk di bawah pohon mangga itu. Baru saja mereka menyandarkan tubuh di batang pohon mangga, tiba-tiba terdengar lagi suara burung bernyanyi.
    “Keke…kow…, keke kow…, keke kow…!!?”
    Namun, ketika akan beranjak dari tempat duduknya hendak mencari sumber suara itu, tiba-tiba kedua gadis tersebut mendengar suara burung itu memanggil mereka.
    “Hai, kalian gadis miskin! Mendekatlah kemari! Aku akan memberikan kalian makanan,” ujar burung kekekow.
    Kedua gadis itu pun segera mendekat ke bawah dahan pohon tempat burung kekekow bertengger. Seketika itu pula berjatuhanlah berbagai macam makanan dari atas pohon.
    “Terima kasih, Kekekow!” ucap kedua gadis itu serentak dengan perasaan gembira.
    Demikian seterusnya, setiap kedua gadis itu kehabisan makanan, burung kekekow yang baik hati itu memberikan mereka makanan. Bahkan, pada hari-hari berikutnya, burung kekekow memberikan mereka peralatan rumah tangga yang mereka perlukan. Ketika musim kemarau pun, ia selalu memberikan mereka air untuk keperluan sehari-hari. Berkat pertolongan burung kekekow, keluarga kedua gadis itu tidak sengsara lagi seperti sebelumnya.
    Pada suatu hari, peristiwa yang mereka alami tersebut terdengar oleh teman-teman sepermainan mereka yang tinggal di kampung tidak jauh dari hutan itu. Oleh karena perasaan iri hati dan dengki, teman-teman kedua gadis itu menyampaikan berita itu kepada kepala kampung. Lalu, kepala kampung itu mengerahkan seluruh warga untuk segera menangkap burung kekekow. Alhasil, mereka pun berhasil menangkap dan membawanya ke rumah kepala kampung. Warga kampung pun berebutan meminta berbagai makanan dan peralatan rumah tangga kepada burung ajaib itu. Ada yang meminta buah pisang, mangga, pepaya dan lain-lain. Bahkan ada pula yang meminta peralatan rumah tangga seperti lemari, kursi, meja dan sebagainya. Namun, tak satu pun permintaan mereka yang dikabulkan oleh burung kekekow. Justru burung kekekow itu memberikan mereka rumput-rumput kering.
    Sikap dan perlakuan burung kekekow itu membuat kepala kampung dan para warga naik pitam.
    “Dasar burung penipu! Kamu menghina kami, yah!” bentak kepala kampung.
    “Sembelih saja burung brengsek itu!” teriak seorang warga.
    “Ayo, kita sembelih burung itu!” sahut seluruh warga dengan perasaan kesal dan kecewa.
    Akhirnya, kepala kampung dan para warga bersepakat untuk menyembelih burung kekekow. Setelah disembelih, bangkai burung itu dibuang di belakang rumah salah seorang penduduk.
    Mengetahui burung kesayangannya disembelih, kedua gadis itu segera mengambil bangkainya dan menguburkannya di belakang gubuk mereka. Mereka sangat bersedih hati dan menyesali kekejaman para penduduk kampung yang telah menyembelih burung yang senantiasa menolong mereka. Untuk mengenang jasa-jasa dan kebaikan burung kekekow, mereka selalu datang ke kuburan kekekow untuk mendoakannya.
    Beberapa tahun setelah peristiwa tersebut, kedua anak gadis itu tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik. Kehidupan mereka pun tidak lagi sengsara seperti dulu, karena semua pemberian burung kekekow mereka simpan dan rawat dengan baik. Jika kekurangan makanan, peralatan rumah tangga mereka jual untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
    Sementara itu, di atas kuburan kekekow telah tumbuh sebuah pohon besar yang tidak pernah berhenti berbuah. Buahnya sangat enak dan memiliki aroma yang menyenangkan. Jika lapar, kedua gadis itu dan ibunya memetik buah pohon tersebut. Sejak saat itu, mereka pun senantiasa hidup serba berkecukupan.
    * * *
    Sumber:
    • Isi cerita diadaptasi dari Anneke Sumaraw. 1992. Cerita Rakyat dari Sulawesi Utara. Jakarta: Grasindo.
    • Effendy, Tenas. 1994/1995. “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau. Pekanbaru, Bappeda Tingkat I Riau.
    • Anonim. “Kamus manado”, http://books.google.co.id/, diakses tanggal 27 November 2008.

    cerita rakyat minahasa

    (Asal Usul Penduduk dan Nama Desa Rumoong Atas)
    (Cerita ini diadaptasi dari diktat “SEJARAH JEMAAT RUMOONG ATAS”, yang disusun oleh Tim Pelaksana “Seminar dan Penulisan Sejarah Jemaat GMIM Rumoong Atas”, diterbitkan di Rumoong Atas tahun 1984)
    Lipan dan Konimpis
    Dikisahkan bahwa Lipan dan Konimpis adalah dua orang kakak beradik yang tadinya hidup rukun, mesra dan sentosa. Lipan merupakan kakak dari Konimpis. Ia berperawakan tinggi besar dan kekar, berwajah kasar sesuai dengan perangainya, dan suka berburuh. Konimpis berperawakan kecil, berkulit halus. Sifatnya manis, lembut, ramah, menawan hati, sopan serta hormat. Pekerjaannya adalah bertani.
    Akibat perbedaan sifat khas yang mencolok antara keduanyandi masyarakat, maka sang kakak ditakuti dan lama-kelamaan sukar mendapat pengaruh dan dukungan; sebaliknya, Konimpis yang ramah dan sopan sangat disegani. Melihat situasi itu, timbullah rasa iri sang kakak, dan ia bermaksud untuk menghabisi adiknya. Segala upaya dan tipu daya diaturnya.
    Pada suatu tempat yang menurut Lipan adalah tempat lalu-lalang Konimpis, di sanalah Lipan menunggu kesempatan terbaiknya membunuh Konimpis, adiknya. Lipan bersembunyi dalam sebuah lubang pohon akel/ seho (enau) yang roboh. Tak berapa lama kemudian, Konimpis datang dalam keadaan lelah dan terengah-engah. Ia pun beristirahat di pohon akel, tempat persembunyian kakaknya. Tak sadar, batang pohon itu dipukul-pukul oleh Konimpis. Lipan yang bersembunyi di dalamnya terkejut dan malu, mengira bahwa Konimpis telah mengetahui rencananya. Ia pun keluar. Di tempat itu mereka bertengkar dan akhirnya mengangkat sumpah bahwa mulai saat itu mereka tidak bersaudara lagi, bahkan siap angkat perang “Taar-era”.
    Tempat kakak-beradik itu mengangkat sumpah terletak di puncak pegunungan + 200 meter sebelah barat desa Rumoong Atas sekarang. “Taar-era” lama kelamaan menjadi Tareran.
    Pembuktian menunjuk bahwa Lipan dan Konimpis pernah hidup disana, dimana jembatan Tuunan sekarang (kuala memeak) ada tempat penyeberangan Lipan tanpa jembatan atau titian, yang dikenal dengan sebutan “kopat i Lipan” (langkah lompat Lipan). Begitu pula ada pengikut Konimpis yang sudah mulai singgah di sana, yaitu dua orang wanita yang bernama Mawole dan Manimporok. Kedua perempuan itu berteduh di bawah sebuah pohon besar nan rindang yang bernama pohon Lowian (sejenis pohon beringin). Kemudian datanglah tiga orang lelaki yang masing-masing mempunyai kesaktian:
    Sage: Tonaas yang punya keahlian memasang patok. Sebab saat itu tidak sembarang orang yang bisa memasak patok.
    Palandi: Tonaas yang ahli memanggil burung (sumoring). Dengan cara meniru suara burung tertentu(soring), burung tersebut akan datang untuk menyampaikan bunyi. Bunyi tiap jenis burung dipercaya mempunyai arti tertentu.
    Mamarimbing: Tonaas yang punya keahlian membaca/ memeriksa bunyi burung dan tahu apa artinya. Burung yang bisanya memberi tanda adalah burung Wara. Jenis burung Wara malam disebut Manguni. Sedangkan wara siang disebut wara inen do. Ada juga burung lainnya seperti: Titicak (burung Sri gunting), Tangka lio-liowan (burung kuning) dan lain-lain. Tonaas Mamarimbing tahu arti dari bunyi burung-burung tersebut.
    Setelah mereka mendengar bunyi burung dan punya arti baik, maka Tonaas Sage memasang patok di bagian barat pohon Lowian. Itulah sebabnya pemukiman di sekitar pohon tersebut dinamakan Lowian (nama sebelum menjadi Rumoong Atas). Tapi berhubung pohon Lowian yang sangat rindang itu sulit ditembus cahaya matahari, maka mereka memindahkan patok sekaligus tempat perteduhannya di sebelah timur guna mendapat cahaya matahari. Mereka menyebut tempat itu “Sendangan”, yaitu bagian barat desa Lansot yang berbatasan dengan desa Rumoong Atas sekarang. Tempat itu tetap disebut “Sendangan” sampai tahun 1950-an. Bersamaan pada waktu itu datanglah orang lain yang ingin menetap di bawah pohon Lowian. Mereka dipimpin dotu Moutang, sekitar + tahun 1625. Dotu inilah yang dipandang sebagai dotu desa Rumoong Atas.
    Perubahan Nama Lowian Menjadi Rumoong Atas
    Penghuni pemukiman yang dinamakan Lowian merupakan perpaduan penduduk yang datang lebih dahulu dari penduduk yang diperkirakan berasal dari jurusan Langowan, dengan rombongan dotu Moutang dari arah barat sekitar tahun 1625, yang semakin bertambah banyak. Orang yang datang bertambah banyak pada suatu tempat yang sudah didiami orang disebut “Rumoang”. Di sebelah timur sudah ada pemukiman yang disebut “Lansot”, yang ditempati sejak tahun 1560. Nama baru desa Lowian secara resmi diubah sebutannya menjadi “Rumoang”.
    Pada masa pendudukan Jepang sekitar tahun 1942 sampai 1945, pada papan nama desa tertulis “Rumoon”. Lama-kelamaan menjadi Rumoong.
    Nama “Rumoong” pada saat itu sudah ada dua, yaitu Rumoong yang ada di wilayah Tombasian atau Kecamatan Tombasian dan Rumoong yang sebelumnya disebut Lowian. Maka untuk membedakan keduanya, Rumoong yang dulunya Lowian kemudian disebut “Rumoong Atas”. Sengaja disebut demikian karena tempat yang dulunya Lowian berada di pegunungan, sedangkan Rumoong yang satunya yang berada di pesisir pantai di sebut “Rumoong Bawah”.
    Rumoong Atas secara resmi menjadi desa tahun 1840.
    .