woensdag 3 juli 2013

MINAHASA DAN KEARIFANNYA

Pendahuluan
Orang yang tak mengenal budaya asalinya adalah orang yang terasing dari dirinya, sebaliknya orang yang mengenal budayanya adalah orang yang akrab dengan eksistensinya, dan semakin orang akrab dengan eksistensinya semakin orang akrab pula dengan eksistensi orang lain. Maka dalam koridor pemahaman demikian, tulisan pendek ini adalah konkritisasinya, tentu harus dipahami juga bahwa kami mencoba mengerti sebaik mungkin tentang pokok ini sesuai dengan latar belakang pendidikan kami dan kami sendiri sebagai insider.

I. Asal Tou[1] Minahasa: Dari Utara
Mengenai asal usul Tou atau orang Minahasa, selain tentu dari cerita mitologis Toar dan Lumimuut,[2] secara ilmiah pendapat umum yang diterima sekarang adalah Tou Minahasa berasal dari utara. Bertalian erat dengan Mongolia, Tiongkok, dan Jepang. Hal itu didasarkan pada analisis antropologis seperti ciri-ciri fisik, gaya arsitektur, senjata tradisional, pakaian, sistim religi, serta bahasa. Berikut ini beberapa pendapat yang mengatakannya:
A.L.C. Beekman. Pakar ilmu bumi ini berpendapat bahwa secara antropologis warna kulit orang Minahasa lebih terang dari bangsa Melayu lainnya, bermata hitam dan coklat serta berambut hitam lurus. Di sudut dalam matanya terdapat apa yang disebutnya Mongolschopil atau lipit Mongol yang menjadikan mereka kelihatan seperti orang Jepang.[3]
F.S. Watuseke seorang peneliti sekaligus budayawan Minahasa. Ia berpendapat bahwa selain dilihat dari ciri-ciri fisik, jika menelisik gaya arsitek bangunan yaitu rumah panggung bertangga, senjata tradisional [tombak, parang, dan perisai], pakaian dari kulit kayu, serta penghormatan terhadap arwah para leluhur, maka semua ini memiliki kesamaan dengan suku-suku Indo-Mongoloid di Tiongkok Selatan, teristimewa di propinsi Yunan dan Tibet Timur, yang juga merupakan nenek moyang suku-suku Thai, Vietnam, dan Filipina.[4]
Pdt. Tendean seorang ahli aksara Cina dan Mongol Kuno. Pada bulan Mei 1997, ia pernah berkunjung ke Watu Pinawetengan. Dari segi bahasa, ia meneliti dan menemukan satu coretan kuno yaitu ”Min nan tou” Olehnya, dalam bahasa Mongol Kuno, coretan ini memiliki arti ’Min’ artinya Raja yang bisa jadi menunjuk raja Ming, ’Nan’ artinya Pulau, dan ’Tou’ artinya Manusia atau Orang. Jadi ”MIN NAN TOU” artinya ”Orang turunan raja Ming dari pulau itu.” Pendapat ini diperkuat oleh C. Manoppo, seorang diplomat yang lama bertugas di Mongolia. Ia mengatakan bahwa baik nama marga mapun kepercayaan dan unsur-unsur budaya Minahasa dan Mongolia keduanya memiliki banyak kemiripan, ia mencontohkan misalnya marga Sondakh, Sandag dan Tendean ada juga di Mongolia. [5]

II. Pandangan Tou Minahasa tentang: Tuhan, Opo-Opo, Tou, dan Kematian.
Meminjam pendapat Mircea Eliade bahwa konsep metafisis abstrak masyarakat archaic dapat ditelisik melalui simbol, mitos, ritus, syair, sebab ini semua adalah cara pengungkapan mereka akan hal itu.[6] Maka, dengan sedikit ber-hermeneutik, penjelasan kami tentang pokok ini akan berangkat dari salah satu unsur yang disebutkannya yaitu syair. Terutama syair doa agama asli[7] seperti dicatat oleh J. Hikson tahun 1889, serta syair Zazanian ni Karema [nyanyian Karema] seperti dicatat oleh J.G.F Riedel tahun 1870 berikut ini:[8]
Syair Doa dan Nyanyian Agama Asli
Terjemahan menurut Jessy Wenas
Oh Empung e Wa’ilan Wangko. Oh Empung Renga-Rengan. Turu’an nei lalan karondoran, wo tia ‘u lalan kaengkolan. Oh Empung e Wa’ilan Wangko, Oh Empung Renga-Rengan. Kuman wo melep, piki-pikiin an sakit. Wo yayo-yayo mange witi si Lokon telu katua’an, wo kalawiran.
[Syair doa agama asli]
Oh Tuhan Yang Maha mulia dan besar. Oh Tuhan Maha Abadi/asal keturunan, tunjukanlah jalan yang lurus dan jangan jalan yang berbelok. Oh Tuhan Yang Maha Mulia dan Besar, Oh Tuhan Yang Maha Abadi/asal keturunan. Mari makan dan minum, agar dijauhkan dari penyakit. Dan sampaikanlah kepada tiga tu’a Lokon semoga diberi usia lanjut dan diberkati.
Akaz I nania wo mange, yah tou sana-awu mo kamu. Tumouma malawi-lawir witu rara’atean ni Empung. Niaku tumao kariamio, wen Aku yah Karema wo Wailan. Wo zei’lewo’en-ta un ka’ara’an-ta.
[Syair Nyanyian Karema]
Mulai sekarang dan selanjutnya, kamu sudah suami istri [To’ar dan Lumimu’ut], hiduplah penuh berkat dalam kasih sayang Tuhan. Aku akan hidup bersamamu, tapi aku adalah Karema juga Pendeta. Dan jangan kita rusak hubungan kasih sayang kita.
II.1. Tuhan: Bercorak Monotheistik-Antroposentrik-Henoteistik
Berdasarkan syair doa dan nyanyian agama asli di atas, Tuhan bagi Tou Minahasa pra-Kristen disebut Empung. Tuhan atau Empung ini diatributkan secara superlatif yaitu Empung Wailan Wangko artinya Tuhan Maha Mulia dan Besar, Empung Renga-Rengan artinya Tuhan Maha Abadi/ Asal Keturunan.[9] Corak superlatif-Nya sebagai Satu Yang Maha mengkarakterkan sifat monoteistiknya karena itu eksistensi diri-Nya adalah kemahaan-Nya, sekaligus kemahaan-Nya adalah esensi-Nya. Konsekwensinya, Ia dipahami dapat mempresentasikan diri-Nya dalam corak antroposentrik yaitu makan-minum seperti manusia sekaligus men-subordinasi-kan diri-Nya kepada si Lokon telu katua’an.[10] Menurut J.M Saruan frase ini di satu sisi berarti tiga Opo yang bertempat tinggal di atas tiga puncak gunung yang semakin membotak, di sisi lain bermakna pula ‘ketuaan’ yaitu lebih berwibawa karena usia mereka.[11] Kepadanya [Opo], Empung dapat menyampaikan maksud-Nya. Di sinilah tampak adanya ciri henoteistik-Nya.[12] Berikut ini beberapa pendapat yang juga mengemukakan tentang dua corak terakhir ini:
N. Graafland. Awalnya ia berpandangan bahwa, ciri monotheistik ini dipengaruhi oleh kekristenan. Tapi setelah ia mempelajari secara lebih mendalam cara berdoa dan isi doa-doa asli orang Minahasa di berbagai tempat yang ia kunjungi, ia berkesimpulan bahwa orang Minahasa sebelum kedatangan kekristenan sudah mengenal satu nama. Dia menyebutnya ”aku akan ada, dan aku ada” [Ik zal zijn, die ik zijn zal].[13]
Kruyt dan Schwarz mengatakan bahwa sementara mereka menyembah banyak dewa, ada satu nama yang sebenarnya bukan nama dalam arti yang biasa, yang mereka sebut “Empung Wailan Wangko”. Yang di bagian selatan disebut Si ni mema’ in tana [Yang membuat bumi] atau Si opo ni mema’in tana [dalam bentuk tunggal] yang juga mereka sembah. Jadi bercorak henoteistik.[14]
J. C. Neurdenberg, bertolak dari teori evolusionistik, ia mengatakan bahwa awal dari penyembahan ilah manusia Minahasa bersifat monotheistik, mereka mengakui adanya Satu Yang Tertinggi [Si Empung], kemudian berangsur-angsur menjadi ‘polytheistik’ tapi bukan polydemonistik [banyak Iblis].[15]

II.2. Opo-Opo: Ideal Virtue dari Tou, Subordinasi Empung Wailan Wangko
Pada syair pertama disebutkan tentang si Lokon telu katua’an, mengenai arti dan maknanya sudah disebutkan di atas bahwa frase ini dapat menunjuk pada eksistensi Opo-Opo sebagai ada plural [tiga] serta simbol manifestasinya [tiga gunung] atau hierofani menurut Eliade.[16] Sehingga, ada banyak Opo-Opo yang dikenal di Minahasa, kami tidak akan menyebutkan dan menjelaskan satu persatu di sini, karena itu, yang akan kami jelaskan lebih kepada ‘apa esensinya?’[17]
Opo adalah leluhur tapi tidak semua leluhur adalah Opo. Terminolgi Opo bersinggungan erat dengan persekutuan keluarga serta keturunan. Karena itu, ia diberi isi dan arti menurut fungsi, peran, dan tanggungjawab sang bapak sebagai penunjuk jalan, pemelihara, penjaga, pelindung, penolong, pembela, pelaku dan pemberi teladan hidup sekaligus simbol dari moral bapak, moral pemimpin yang menuntun dan mengarahkan manusia pada kehidupan yang sejahtera di dunia dan di alam berikutnya. Karena itu, ia bersifat spiritual. [18] Jadi esensinya adalah Ideal Virtue dari Tou. 
Sesuai hakekatnya itu, mereka ia dihargai, dihormati sebagaimana pada waktu mereka masih hidup, karena mati dipandang sebagai berpindah tempat saja. Sehingga peran dan fungsi-fungsi, tanggung jawab dan wewenang, sifat-sifat dan kedudukan/status dan derajat mereka tetap diakui melekat pada mereka. Karenanya Tou Minahasa tetap berkorelasi dengannya di dalam seluruh segi kehidupannya. Dalam Zazanian ni Karema disebutkan ”Niaku tumao kariamio” ’aku akan hidup bersamamu.’ Namun tetap diingat bahwa baik esensi maupun eksistensinya dipahami bersifat subordinatif dari Empung Wailan Wangko.[19]

II.3. Tou: Bertujuan dan Paradoksal
Pada kedua syair di atas disebutkan “Tunjukanlah jalan yang lurus dan jangan yang berbelok… Dan sampaikanlah….” serta “Hiduplah penuh berkat dalam kasih sayang…jangan rusak hubungan kita” Syair pertama adalah bentuk doa langsung Tou kepada si Empung tanpa perantara namun si Tou meyakini adanya peran perantara. Pada syair kedua peran perantara menjadi jelas pada sosok Karema sebagai Wailan [Pendeta] yang menasehati. Pada bentuk doa pertama, Tou dipahami sebagai ‘dia yang bertujuan’ karena itu ia ‘mencari jalan’ untuk mencapai tujuannya itu. Namun dalam usaha mencapai tujuannya serta memperoleh jalan, ia membutuhkan arahan external. Jadi di sini, manusia adalah mahluk paradoksal yaitu ia memiliki ‘kebebasan’ mencari jalan serentak ‘ketidakbebasan’ dalam arti ‘ketidakmampuan’ mencari jalannya sendiri, sebab itu, ia membutuhkan unsur eksternal, entahkah orang lain sebagai perantara maupun nilai-nilai demi tujuannya. Perantara yaitu Wailan serta Tonaas. Nilai-nilai yaitu Opo-Opo sebagai Ideal Virtue. Karena perannya sebagai perantara, maka para Wailan serta Tonaas tidak pernah lepas dari nilai-nilai, merekapun menjadi Figur Ideal dalam nilai karena mengantarai Ideal Virtue bagi Tou. Tou melihat Ideal Virtue dalam diri mereka, supaya Tou memilikinya menjadi nilainya. Tou-pun berpotensi menjadi Figur Ideal sekaligus Ideal Virtue. Karena itu, para perantara diangkat sebagai Figur Ideal’ pertama-tama karena menampakkan Ideal Virtue. Maka di Minahasa tidak dikenal adanya sistim kepemimpinan yang diwariskan tapi kepemimpinan karena kharisma yang kekuasaannya tidak mutlak karena kebebasannya.

II.4. Paham tentang Kematian
Kematian dipandang sebagai pindah tempat saja dan karena itu kehidupan tetap berlanjut. Kehidupan sesudah kematian dilihat sebagai tempat yang penuh dengan kesempurnaan, keindahan dan kemewahan, terlepas dari segala kesulitan. Tempat tujuan mereka disebut Kasendukan. Mereka yang layak ke sana adalah mereka yang selama hidupnya memenuhi tuntutan dan ajaran para Opo, sebaiknya mereka yang hidup tidak taat, mereka tetap berada di bumi dan berkelana dan kadangkala jiwa mereka dipahami berdiam dalam satu tempat tertentu dan menakut-nakuti orang yang masih hidup, kadangkala mereka masuk dalam tubuh binatang tertentu seperti babi atau ular atau juga pergi ke bawah bumi tapi bukan daam arti reinkarnasi atau dilahirkan kembali.[20]

III. Implikasinya pada:
a. Relasi manusia dengan manusia
Relasi manusia dengan manusia, tergali pertama-tama pada konsep tentang manusia yang bersifat teleologis-paradoksal. Segi teleologisnya dapat didistingsikan menjadi tujuan jasmani dan tujuan rohani. Jika mengikuti cara berpikir hierarkis semesta, maka tujuan jasmani adalah tujuan di dunia tengah yaitu kehidupan dalam dunia real sekarang, sedangkan tujuan rohani adalah tujuan di Kasendukan [senduk=di atas] menyangkut kehidupan setelah kematian atau kehidupan nanti. Kedua tujuan itu dapat sekaligus tidak dapat tercapai dimungkinkan oleh kebebasannya karena kebebasannya dibatasi oleh ketidakmampuan dirinya. Maka untuk melintasi ambang ketidakmampuan dirinya itu, manusia memerlukan rambu-rambu eksternal supaya kontinuitas tujuannya tetap ada. Maka keterbatasanpun menjadi jalan untuk tujuannya.
Dalam koridor kontinuitas tujuannya itu, maka sampai pada titik ini, kita dapat berbicara tentang peran orang lain, peran orang lain adalah menolong sesamanya untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmaninya dan rohaninya sebagai manusia. Tujuan jasmani nampak secara konkrit pada Mapalus, kata Mapalus secara etimologis berasal dari kata bahasa Tombulu artinya bekerja sama. Terbentuk dari kata mah dan palus, mah adalah kata awalan pembentuk kata kerja, sedangkan palus, artinya sangat sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, bisa digambarkan demikian ’ketika petani mencangkul tanah dengan penuh tenaga dan semangat, biasanya karena hentakan cangkul, ada tanah yang terangkat ke atas hingga terkena di kaki,’ tanah yang terangkat ke atas ini yang disebut palus, jadi secara etimologis Mapalus adalah mengerjakan tanah hingga terangkat ke atas. Dalam perkembangannya kata ini dipahami sebagai kerja sama orang Minahasa yang sifatnya saling menguntungkan dalam mengerjakan ladang dan sawah pada zaman lampau tanpa adanya sistim upah dengan uang. Dengan Mapalus orang dapat mengerjakan sawahnya yang luas bersama-sama, ia membutuhkan tenaga orang lain untuk bisa mengerjakannya, ia tak dapat melakukannya sendiri, tenaganya terbatas. Fakta keterbatasan ini sekaligus fakta pelintasan batas keterbatasan, karena keterbatasan tenaganya itu membuat ia membutuhkan tenaga pula dari orang lain, begitu juga orang lain sebaliknya, jadi intinya manusia membutuhkan orang lain secara timbal-balik.
Sedangkan mengenai tujuan rohani nampak pada ritual keagamaan. Salah satu bentuk ritualnya adalah Poso. Poso adalah ritual perdamaian antara manusia dengan Opo yang dimediasi oleh seorang Wailan. Poso terjadi ketika manusia bersalah melanggar pantangan atau larangan yang diberikan oleh Opo. Orang yang melanggar pantangan atau larangan dari Opo itu biasanya akan menderita sakit, namun sakitnya tidak dapat dideteksi oleh orang biasanya bahkan pada zaman sekarang oleh ahli medis sekalipun. Maka untuk dapat mengetahui kejadian sebenarnya sebagai penyebab dari sakitnya, seseorang dapat meminta tolong seorang Wailan. Melaluinya si sakit dapat mengetahui apa yang dikehendaki oleh Opo, dan akhirnya ketika diketahui apa yang dikehendaki oleh si Opo dan diketahui pula secara pasti apa kesalahannya terhadap si Opo itu maka diadakan perdamaian antara manusia dan Opo melalui Wailan, si sakit memenuhi apa yang diminta dari si Opo dan penyakitnya sembuh. Jadi pada intinya setiap orang membutuhkan bantuan dari orang lain baik tujuan jasmani maupun rohaninya.

b. Relasi manusia dengan alam semesta
Relasi manusia dengan alam semesta, dipahami dalam konsep bahwa alam semesta sebagai tempat tinggal Opo-Opo yang dihargai oleh manusia. Penghargaan terhadap alam adalah penghargaan pula terhadap pribadi Opo-Opo itu. Misalnya sebuah pohon besar, hutan, atau binatang tertentu tidak akan diganggu gugat kelestariannya sejauh mereka itu dipandang sebagai tempat bersemayamnya para leluhur. Maka, musnahnya mereka berarti musnah pula perjumpaan simbolik antara manusia dan para leluhur.

c. Paham Tou terhadap Kekristenan
Paham Tou yang sifatnya teleologis-paradoksal itu, seperti dijelaskan di atas, mendapatkan implikasi kristianinya yaitu penjelasan paham monoteistik tentang Tuhan Yesus Kristus yang adalah Allah dan pada konsep Empung Wailan Wangko sebagai ’Satu Yang Maha.’ Konsep inilah yang kemudian secara inkulturatif diberi makna kristiani yaitu Allah sebagai tujuan hidup manusia. Maka untuk mencapainya, Tou Minahasa kristen memerlukan peran eksternal yaitu nilai-nilai kekristenan dan terutama dalam diri Kristus sendiri sebagai Allah. Opo-Opo dapat disejajarkan dengan para kudus yang memiliki kwalitas moral yang baik karena mereka hidup sesuai dengan kehendak Allah, sebagaimana juga Opo-opo yang menjadi ideal virtue bagi Tou karena mengikuti kehendak Empung Wailan Wangko. Mereka layak dihormati karena menampakkan sifat-sifat Allah namun mereka bukan Allah.

d. Kwalitas Moral Pemimpin Sangat Menentukan Efektifitas Pewartaan
Kwalitas moral seorang pemimpin agama sangat menentukan efektifitas pewartaan, karena dalam cara berpikir orang Minahasa pemimpin agama dalam perannya dilihat sebagai Wailan yang memiliki kwalitas moral di atas mereka. Pemimpin menjadi Figur Ideal yang menampakkan Ideal Virtue, ia menjadi tokoh panutan, telah ada standar-standar moral tertentu yang mereka harapkan dari seorang pemimpin. Maka seorang pemimpin harus bertindak berdasarkan standar-standar moral itu. Pewartaannya sungguh dapat didengarkan jika dia sendiri menjadi pemberi contoh atau menghidupi apa yang ia katakan, sebaliknya ia tidak akan dianggap sebagai pemimpin jika kwalitas moralnya justru berada di bawah orang kebanyakan. Jadi kwalitas moral pemimpin agama sangat menentukan efektifitas pewartaan.

Penutup
Dari penjelasan di atas setidaknya secara pribadi ada hal yang kami dapatkan sebagai hasil usaha memahami identitas kami sendiri yaitu menyangkut bagaimana orang Minahasa berpikir tentang dirinya. Tentu saja ibarat sebutir air di pinggir timba, tulisan ini sangatlah ringkas dari jauh dari sempurna, semoga nantinya dengan membaca hal yang ringkas ini para pembaca tertarik untuk memperdalamnya lagi.

Daftar Pustaka
Atoshoki, Anthonius. Character Building III: Relasi dengan Tuhan. Jakarta. Elex Media Computindo. 2004.
Eliade, Mircea. Mitos Gerak Kembali Yang Abadi, Kosmos dan Sejarah. Terj. Cuk Ananta. Yogyakarta. Ikon Teralitera. 2002.
Eliade, Mircea. Patterns in Comparative Religion. Trans. Rosemary Sheed. New York. Sheed and Ward. 1958.
Eliade, Mircea. The Sacred & The Profane: The Nature of Religion. Trans. Willard R. Task. New York. Harcout & Brace World. 1956.
Gosal, P.A. PAPER, Tou Minahasa dari Utara sampai Malesung. Tombatu. Juni 2006.
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta. Djembatan. 1971.
Müller, Max. Lectures on The Origin: as Ilustrated by the Religion of India. London. Longmans Green. and co. 1978.
Renwarin, P. R. Matuari wo Tonaas, Jilid I. Jakarta. Cahaya Pineleng. 2007.
Saruan, J.M. Opo dan Allah Bapa: Suatu Studi Tentang Perjumpaan Antara Agama Suku dan Kekristenan di Minahasa. Disertasi: The South Asia Graduate School of Theology. Jakarta. 1991.
Watuseke, F.S. Sejarah Minahasa. Manado: Yayasan Penerbit Merdeka. 1962.
Wenas, Jessy. Sejarah dan Kebudayaan Minahasa. Manado. Institut Seni Budaya Minahasa. 2007.


[1] Tou adalah satu kata Austronesia yang berarti ‘manusia’. Tapi beberapa cendekiawan menganjurkan agar lebih tepat diterjemahkan dengan ‘perinsip hidup’ ‘elan vital’ [istilah Bergson] karena orang Tombulu menggunakannya untuk semua mahluk hidup. [Bdk. P. R. Renwarin, Matuari wo Tonaas, Jilid I (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2007), hlm. 20].

[2] Lih. Ibid, hlm. 43-47

[3] Pendapat ini didukung oleh dua orang antropolog berkebangsaan Jerman yang dua kali berkunjung ke Minahasa pada tahun 1893-1896 dan 1902-1903 yaitu Sarasin bersaudara Paul dan Frits Sarasin. [Terkutip dalam: Paper P.A Gosal, Tou Minahasa dari Utara sampai Malesung. Tombatu, Juni 2006, hlm. 1]. Diperkuat pula oleh analisis Koentjaraningrat bahwa ciri mongoloid seperti itu berasal dari Asia Timur yaitu Jepang yang melalui jembatan kepulauan Riukyu kemudian ke Taiwan, Filipina, Sanger dan sampai ke Sulawesi. [Bdk. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djembatan, 1971), hlm. 8].

[4] Bdk. F.S. Watuseke, Sejarah Minahasa (Manado: Yayasan Penerbit Merdeka, 1962), hlm. 6.

[5] Terkutip dalam: Paper P.A Gosal, Tou Minahasa dari Utara sampai Malesung. Tombatu, Juni 2006, hlm. 1.

[6] Bdk. Mircea Eliade, Mitos Gerak Kembali Yang Abadi, Kosmos dan Sejarah, Terj. Cuk Ananta (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), hlm. 3.

[7] Agama asli Minahasa disebut Maka Tana’ yakni Pengetahuan dari si pemilik tanah yakni Empung Wa’ilan Wangko. Agama ini sudah dipelajari sejak kecil di semacam sekolah bernama Papendangan. [Bdk. Jessy Wenas, Sejarah dan Kebudayaan Minahasa (Manado: Institut Seni Budaya Minahasa, 2007), hlm. 69]

[8] Terkutip dalam: Ibid. hlm. 67, 81.

[9] J.M Saruan mengiventarisir ada 57 nama sebutan untuk Tuhan di Minahasa. Antara lain: Opo Wananatas [Tuhan di tempat Yang Maha tinggi], Opo Empung [Tuhan Allah], Opo Mahpahasa [Tuhan dari semua], Opo Manembo-nembo [Tuhan yang Maha memperhatikan/ memandang].

[10] Lokon Telu adalah tiga puncak gunung G. Lokon, G. Tatawiran dan G. Kasehe yang terletak di dekat G. Empung. Di bawah kaki gunung Empung itu terdapat danau yang disebut Tambuk Lenas [Tambulinas: Telaga Suci] merupakan pusat keagamaan Minahasa. Sedangkan Batu Pinawetengan adalah pusat upacara adat. [Bdk. Jessy Wenas, Sejarah dan Kebudayaan Minahasa. hlm. 68].

[11] J.M. Saruan, Opo dan Allah Bapa: Suatu Studi Tentang Perjumpaan Antara Agama Suku dan Kekristenan di Minahasa. Disertasi: The South Asia Graduate School of Theology, Jakarta, 1991.

[12] Henoteism έν θεός [hen theos] ’One God’ adalah istilah yang diciptakan Max Müller ”…to mean worshiping a single God while accepting the existence or possible of other deities.” [Max Müller, Lectures on The Origin: as Ilustrated by the Religion of India (London: Longmans Green. and co, 1978). hlm. 46]. Keyakinan pada satu Tuhan tanpa mengingkari adanya kuasa metafisis yang lain. Yang berkuasa di dunia ini satu, namun penguasa di satu tempat berbeda dengan yang ada di tempat lain. Ada banyak dewa tapi hanya satu yang maha kuasa. [Bdk. Anthonius Atoshoki, dkk, Character Building III: Relasi dengan Tuhan (Jakarta: Elex Media Computindo, 2004), hlm. 39].

[13] Jessy Wenas, Sejarah dan Kebudayaan Minahasa, hlm. 65.

[14] Kruyt, ”Animisme” dalam: Mededelingen vanwege het Nederlansche Zendelenggenootschap 1857-1858. Terj. Josef Manuel Saruan, hlm. 470.

[15] J. C Neurdenberg. Ibid, hlm. 175.

[16] “Hierophany is appariation or manifestation on The Sacred in the context of secular world. Hierophany is manifestation, or revelation of The Sacred, in a certain place in the universe. Due to such revelation or manifestation urtain place or things in the universe become special or seperated from other places” [Mircea Eliade, The Sacred & The Profane: The Nature of Religion, trans: Willard R. Task (New York: Harcout & Brace World, 1956), hlm. 155].

[17] Bdk. J.M. Saruan, Opo dan Allah Bapa, hlm. 80-86.

[18] Eliade menyebutnya ‘The Sacred’ “The Sacred is something transendent. Being transendent, it is beyond human limitedness/ limited capability. The Sacred is the exemplary in the sense that establishes patterns to be followed. By being transendent and examplary it compels the religious person to come out of personal situations to surpass the contingen and the particular and to comply with general values, with the universal” [Mircea Eliade, Patterns in Comparative Religion, trans: Rosemary Sheed (New York; Sheed and Ward, 1958), hlm. 367].

[19] Terdapat hirarki semesta yaitu: dunia paling atas [tempat kuasa tertinggi], dunia atas “Kasendukan” [tempat tujuan manusia], dunia tengah [tempat manusia, binatang, dan tumbuhan], dunia bawah [tempat roh-roh jahat], dan para opo bertempat tinggal di dunia atas “dibayangkan berada di puncak yang tinggi “gunung.” [J.M. saruan, Opo dan Allah Bapa, hlm. 244].
[20] Bdk. Ibid. hlm. 86.

http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/19/orang-minahasa-dan-kearifannya/

Geen opmerkingen: