dinsdag 6 augustus 2013

WALAK DAN PAKASAAN

WALAK DAN PAKASAAN
Walak dan Pakasaan

Pengertian walak menurut kamus bahasa Tontemboan yang dikutip Prof G.A. Wilken tahun 1912 dapat berarti:

1. Cabang Keturunan
2. Rombongan Penduduk
3. Bahagian Penduduk
4. Wilayah Kediaman Cabang Keturunan.

Jadi Walak mengandung dua pengertian yakni Serombongan penduduk secabang keturunan dan wilayah yang didiami rombongan penduduk secabang keturunan.
Kepala walak artinya pemimpin masyarakat penduduk secabang keturunan,
Tu’ur Imbalak artinya wilayah pusat kedudukan tempat pertama sebelum masyarakat membentuk cabang-cabang keturunan.
Mawalak artinya Membahagi tanah sesuai banyaknya cabang keturunan.
Ipawalak artinya Membahagi tanah menurut jumlah anak generasi pertama, tidak termasuk cucu dan cicit.

Penelitian G.A. Wilken ini membantah laporan residen Belanda Wensel yang menulis bahwa arti kata Walak dari bahasa Melayu Balok karena Kapala Walak Minahasa harus menyediakan Balok kayu untuk pemerintah Hindi Belanda abad 18. Kata Walak adalah kata Minahasa asli di wilayah Tontemboan, Tombuluk, Tonsea dan Tondano. Jumlah Walak di Minahasa sebelum jaman Belanda tahun 1679 tidak kita ketahui, ketika Minahasa mengikat perjanjian dengan VOC Belanda, terdapat 20 Walak di Minahasa. Memasuki abad 19, jumlah Walak di Minahasa ada 27.

Penggabungan beberapa Walak yang punya ikatan keluarga dan dialek bahasa serta “Peposanan” membentuk satu “pakasa’an sehingga kepala-kepala Walak Pakasa’an Tombulu abad 17 haruslah keturunan dotu Supit, Lontoh dan Paat. Pakasa’an tertua menurut “A’asaren Tuah Puhuhna” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1870 adalah Toungkimbut di wilayah selatan Minahasa sampai Mongondouw, Tountewoh di Tombatu sampai ke utara pantai Likupang disebelah timur Minahasa dan Tombulu dibelahan barat Minahasa dari Sarongsong sampai pantai utara Minahasa.

Menurut cerita beberapa tetua keluarga Minahasa, masih ada dua Pakasa’an dalam cerita tua Minahasa yang pergi ke wilayah Gorontalo (sekarang ini turunan opok Suawa) dan Tou-Ure yang tinggal menetap di pengunungan Wulur – Mahatus. Tou-Ure artinya orang lama. Menurut teori pembentukan masyarakat pendukung jaman batu besar atau “megalit” tulisan Drs. Teguh Asmar dalam makalahnya “Prasejarah Sulawesi Utara” tahun 1986. Jaman Megalit terbentuk sekitar 2500 tahun sebelum Masehi, contoh jaman batu besar adalah memusatkan upacara adat di batu-batu besar seperti Watu Pinawetengan. Jaman batu baru atau jaman Neoit di Sulawesi Utara dimulai tahun Milenium pertama sebelum masehi atau sekitar seribu tahun sebelum masehi. Contohnya pembuatan batu kubur Waruga. Pada waktu itu orang Minahasa yang berbudaya Malesung telah mengenal pemerintahan yang teratur dalam bentuk kelompok Taranak secabang keturunan misalnya turunan opok Soputan, Makaliwe, Mandei, Pinontoan, Mamarimbing, pemimpin tertinggi mereka adalah yang bergelar Muntu-Untu, yang memimpin musyarah di Batu Pinwetengan pada abad ke – 7.

Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa. Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua menjadi Pakasa’an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an . Yakni Toungkimbut berubah menjadi Toumpakewa, Toumbuluk, Tonsea dan Toundanou. Kondisi Pakasa’an di Minahasa pada jaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana Pakasa’an Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw (lihat gambar) dan telah lahir pakasa’an Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa’an Tondano teridiri dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu terdiri dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta Ratahan. Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.

Wilayah walak Toulour agak lain karena selain meliputi daratan juga membahagi danau Tondano antara sub-walak Tounour yakni Touliang dan Toulimambot. Yang tidak memiliki Pakasa’an adalah walak Bantik yang tersebar di Malalayang, Kema dan Ratahan bahkan ada di Mongondouw-walaupun etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut. Menurut legenda etnis Bantik jaman lampau terlambat datang pada musyawarah di batu Pinawetengan. Ada tiga nama dotu Muntu-Untu dalam legenda Minahasa yakni Muntu-Untu abad ke-7 asal Toungkimbut (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal Tonsea-menurut istilah Tonsea. Dan Muntu-Untu abad 15 jaman Spanyol berarti ada tiga kali musyawarah besar di batu Pinawetengan untuk berikrar agar tetap bersatu.
Ratahan, Pasan, Ponosakan

Bahan data utama dari tulisan ini diambil dari buku terbitan tahun 1871. Pada awal abad 16 wilayah Ratahan ramai dengan perdagangan dengan Ternate dan Tidore, pelabuhannya disebut Mandolang yang sekarang bernama Belang. Pelabuhan ini pada waktu itu lebih ramai dari pelabuhan Manado. Terbentuknya Ratahan dan Pasan dikisahkan sebagai berikut; pada jaman raja Mongondouw bernama Mokodompis menduduki wilayah Tompakewa, lalu Lengsangalu dari negeri Pontak membawa taranaknya pindah ke wilayah “Pikot” di selatan Mandolang-Bentenan (Belang). Lengsangalu punya dua anak lelaki yakni Raliu yang kemudian mendirikan negeri Pelolongan yang kemudian jadi Ratahan, dan Potangkuman menikah dengan gadis Towuntu lalu mendirikan negri Pasan. Negeri Toulumawak dipimpin oleh kepala negeri seorang wanita bersuami orang Kema Tonsea bernama Londok yang tidak lagi dapat kembali ke Kema karena dihadang armada perahu orang Tolour. Karena orang Ratahan bersahabat dengan Portugis maka wilayah itu diserang bajak laut “Kerang” (Philipina Selatan) dan bajak laut Tobelo.

Kepala Walak pada waktu itu bernama Soputan mendapatkan bantuan tentara 800 orang dari Tombulu dipimpin Makaware dan anak lelakinya bernama Watulumanap. Selesai peperangan pasukan Tombulu kembali ke Pakasa’annya tapi Watulunanap menikah dengan gadis Ratahan dan menjadi kepala Walak menggantikan Soputan yang telah menjadi buta. Antara Minahasa dengan Ternate ada dua pulau kecil bernama Mayu dan Tafure. Kemudian kedua pulau tadi dijadikan pelabuhan transit oleh pelaut Minahasa. Waktu itu terjadi persaingan Portugis dan Spanyol dimana Spanyol merebut kedua pulau tersebut. Pandey asal Tombulu yang menjadi raja di pulau itu lari dengan armada perahunya kembali ke Minahasa, tapi karena musim angin barat lalu terdampar di Gorontalo. Anak lelaki Pandey bernama Potangka melanjutkan perjalanan dan tiba di Ratahan. Di Ratahan, dia diangkat menjadi panglima perang karena dia ahli menembak meriam dan senapan Portugis untuk melawan penyerang dari Mongondouw di wilayah itu. Tahun 1563 diwilayah Ratahan dikenal orang Ternate dengan nama “Watasina” karena ketika diserang armada Kora-kora Ternate untuk menhalau Spanyol dari wilayah itu (buku “De Katholieken en hare Missie” tulisan A.J. Van Aernsbergen). Tahun 1570 Portugis dan Spanyol bersekongkol membunuh raja Ternate sehinga membuat keributan besar di Ternate. Ketika itu banyak pedagang Islam Ternate dan Tidore lari ke Ratahan. Serangan bajak laut meningkat di Ratahan melalui Bentengan, bajak laut menggunakan budak-budak sebagai pendayung. Para budak tawanan bajak laut lari ke Ratahan ketika malam hari armada perahu bajak laut dirusak prajurit Ratahan – Pasan.
Kesimpulan sementara yang dapat kita ambil dari kumpulan cerita ini adalah
Penduduk asli wilayah ini adalah Touwuntu di wilayah dataran rendah sampai tepi pantai Toulumawak di pegunungan, mereka adalah keturunan Opok Soputan abad ke-tujuh.
Nama Opok Soputan ini muncul lagi sebagai kepala walak wilayah itu abad 16 dengan kepala walak kakak beradik Raliu dan Potangkuman.
Penduduk wilayah ini abad 16 berasal dari penduduk asli dan para pendatang dari Tombulu, Tompakewa (Tontemboan), Tonsea, Ternate dan tawanan bajak laut mungkin dari Sangihe.
Peperangan besar yang melanda wilayah ini menghancurkan Pakasa’an Touwuntu yang terpecah menjadi walak–walak kecil yang saling berbeda bahasa dan adat kebiasaan yakni Ratahan, Pasan, Ponosakan. Masyarakat Kawanua Jakarta mengusulkan agar wilayah ini dikembalikan lagi menjadi Pakasa’an dengan satu nama Toratan (Tou Ratahan-Pasan-Ponosakan). Karena negeri-negeri orang Ratahan, Pasan, Ponosakan saling silang, berdekatan seperti butir padi, kadele dan jagung giling yang diaduk menjadi satu. Penduduk wilayah ini memang sudah kawin-mawin sejak pemerintahan dotu Maringka akhir abad 18.
peta
 
Oleh :

Jessy Wenas

HUKUM DAN UKUNG

HUKUM DAN UKUNG
“Ukung” & “Hukum”

Minahasa dari awal dan pada hakikatnya menganut tribal system atau sistim suku-suku serta tidak mengenal sistim kerajaaan maupun sistim feodal, sistim-sistim yang sangat bertentangan dengan ketentuan-ketentuan adat, cara berpikir serta watak orang Minahasa.
Ini dibuktikan diawal abad 17 pada saat Mainalo Sarani putra dari Mainalo Wula'an dengan istrinya yang berasal dari Walak Tombariri dijadikan "Raja Manado" oleh orang-orang Tasikela [ Castillia - Spanyol ], "Raja"  ini ditolak dan tidak pernah diakui oleh para Ukung di Minahasa.
Juga dibuktikan dengan perlawanan-perlawanan keras yang diperlihatkan Ukung-Ukung di Minahasa bersama taranaknya dalam perang menghadapi kerajaan-kerajaan maupun bangsa-bangsa asing yang ingin menguasai Minahasa.

“Ukung” dan "Ukung Tu'a" adalah bahasa adat Minahasa, sebutan untuk para Pemimpin  Roong / Wanua dan Kepala Suku atau Kepala Walak di Minahasa dari jaman dahulu kala jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa dan sama sekali tidak ada hubungan maupun persamaan dengan bahasa Melayu “Hukum” yang berakar dari bahasa Arab.
Begitu pula dengan istilah “Walak” juga adalah bahasa adat Minahasa, yang berarti gabungan dari Roong-roong yang memiliki hubungan darah dan daerah yang sama, jadi pada dasarnya kata “Walak” mempunyai arti Genealogis dan Territorial.

Beberapa penulis sejarah Minahasa banyak mengutip pengertian yang salah dari laporan-laporan dan tulisan-tulisan di zaman Kompeni Belanda mengenai istilah “Ukung” dan “Walak”, serta mengait-ngaitkannya dengan bahasa Melayu.

Sesuai adat, pemimpin Walak dipilih diantara para Ukung Kawalak [Ukung dalam Walak yang sama], berdasarkan kewibawaan dan kesanggupannya menghadapi atau mengatasi masalah-masalah yang ada, termasuk ancaman keamanan serta dapat menjaga ketentuan-ketentuan adat yang ada.
Ukung yang terpilih menjadi Pemimpin Walak disebut “Ukung Tu’a” dengan panggilan kehormatan “Tu’a im walak” yang kemudian berubah oleh waktu dan kebiasaan menjadi Tu’ur im walak [awalnya “Tu’ur im walak” sebutan untuk Roong atau Wanua tertua dalam Walak dan pada umumnya nama suatu Walak diambil dari nama Roong/Wanua tertua].

Sekitar tahun 1689 pada masa Kompeni Belanda / VOC [1657-1797], agar lebih mudah berhubungan dengan para Ukung dan Ukung Tu’a, Kompeni Belanda menunjuk tiga orang Ukung Tu’a yang dipercaya untuk dijadikan perantara, mereka adalah Ukung Tu’a Supit dari Tombariri, Ukung Tu’a Lonto dari Saronsong dan Ukung Tu’a Paat dari Tomohon, mereka diberi gelar Hoofd Hoecoems-majoors atau Hukum Besar Kepala, inilah awal penggunaan istilah “Hukum” di Minahasa dan otomatis ketiga Ukung Tu’a ini telah menjadi alat Kompeni Belanda di tanah Minahasa.
Dengan ini maka Kompeni Belanda telah merusak serta mencampuri adat di Minahasa yang sama sekali tidak mengenal dengan kosa-kata dan istilah atau gelar tersebut diatas.

Juga dalam waktu yang tidak jauh, sekitar tahun 1703 sebutan / panggilan kehormatan para pimpinan walak dari “ Tu’a im walak “ atau “ Tu’ur im walak “ oleh masyarakat yang mulai mengetahui atau mengerti bahasa Melayu dalam bahasa sehari-hari dirubah menjadi Kapala Walak bahkan di-Melayukan jadi Kepala Balak dan dimasa Hindia Belanda di tahun 1824 oleh Residen pada saat itu, J. Wenzel [1824 – 1826] ditetapkan dengan resmi pimpinan dari sebuah walak disebut Kepala Walak serta menempatkan dalam setiap Walak seorang Wakil Kepala Walak yang disebut Hukum Kedua dan setiap Roong/Wanua dipimpin oleh seorang Hukum Tua yang ditunjuk / diangkat, inilah awal penggunaan istilah “Hukum Tua” di Minahasa, dan nanti ditahun 1854 baru diadakan pemilihan Hukum Tua / Kepala Kampung yang melibakan masyarakat dan berdasarkan suara terbanyak.
Pada masa inilah [1824] ketentuan-ketentuan adat Minahasa dalam hal memilih pemimpin, yang harus melibatkan dan mendapat persetujuan Ukung Kawalak, oleh kekuasaan Hindia Belanda tidak diberlakukan lagi dengan alasan rasionalisasi pemerintahan.
Selanjutnya para pimpinan Walak [pada saat itu di Minahasa ada 27 Walak] ditentukan dengan jalan penunjukan dan pengangkatan oleh pemerintah Hindia Belanda, dengan demikian mereka menjadi alat kekuasaan Hindia Belanda dan lambat laun para pimpinan maupun masyarakatnya sadar atau tidak sadar sudah merasa menjadi abdi bangsa Belanda.
Diterapkannya sistim ini [penunjukan dan pengangkatan], akibatnya “Bibit-bibit feodalis” mulai tertanam di bumi Minahasa dan bertumbuh dengan terciptanya “Kelas orang-orang berbangsa” yang terbentuk dari segelintir keluarga yang mendapatkan “Keistimewaan dan didahulukan” oleh bangsa Belanda.
Hal ini diperparah lagi dengan sistim penerimaan murid di Hoofden School [Sekolah anak-anak Kepala] atau lebih dikenal dengan nama “Sekolah Raja” yang didirikan oleh Belanda di Tondano pada tahun 1865.
Sekolah yang setingkat SMP ini dikhususkan untuk anak-anak “Kelas orang-orang berbangsa” dan anak-anak dari keluarga yang mendapat “Keistimewaan dan didahulukan”. Sistim pendidikan seperti ini telah ikut melahirkan manusia-manusia yang merasa sebagai “Bangsawan Minahasa”.
Akhirnya sekolah ini bubar dan ditutup pada tahun 1915 [ salah satu guru yang ditugaskan di sekolah ini ialah Josias Ratulangi, ayah dari DR. G.S.S.J. Ratulangi ].

Dampak dari semua aturan-aturan bangsa Belanda ini telah menimbulkan rasa perbedaan diantara Taranak Minahasa, keluarga yang satu merasa lebih istimewa dari keluarga lainnya, saudara yang satu merasa lebih istimewa dari saudara lainnya, walaupun kenyataannya mereka dari satu keturunan yang sama.
Oleh karena sistim yang dibangun diatas dasar yang rapuh hanya bersandar kepada kekuasaan Hindia Belanda, dengan mengingkari ketentuan-ketentuan adat yang ada serta bertentangan dengan watak masyarakat Minahasa, akhirnya hancur lebur digilas oleh perkembangan jaman dan perkembangan masyarakat itu sendiri.

Pada tahun 1856, sekali lagi dengan alasan rasionalisasi pemerintahan, adat Minahasa dipinggirkan, sebutan Walak diganti dengan Distrik dan sebutan Kepala Walak diganti dengan Kepala Distrik serta mendapat gelar Hukum-Besar dan bagi Kepala Distrik yang dianggap berjasa diberi gelar Majoor.
Tiap-tiap Distrik terdiri dari  beberapa Distrik bawahan yang dipimpin oleh seorang Hukum-Kedua, berbeda dengan “Hukum Kedua” sebelumnya, yang dimaksudkan sebagai Wakil Kepala Walak.
Pada tahun 1881, Kepala Distrik atau Hukum Besar maupun Hukum Kedua dijadikan pegawai serta digaji oleh Hindia Belanda dengan kata lain menjadi orang gaji atau pegawai Belanda dan pada tahun 1892 mereka bisa ditempatkan atau ditugaskan dimana saja di Minahasa dan tidak lagi dianggap sebagai Kepala Suku atau Kepala Adat.
Begitu juga dengan Distrik-distrik atau Wilayah Walak-walak di Minahasa tidak lagi sebagai Wilayah-wilayah Adat [Pakasaan] tetapi dirubah menjadi Distrik-distrik tata praja [Distrik administratif].

Akhirnya istilah-istilah atau gelar asing tersebut diatas [Hukum] didegradisir hanya sebutan untuk Kepala Kampung atau Desa, Hukum Tua. Dan hal yang dari awal telah keluar dan mengingkari ketentuan adat Minahasa ini masih dipakai sampai saat ini.
 
Laikit – Minahasa, 5 Agustus 1994

dinsdag 30 juli 2013

UPACARA ADAT MINAHASA

 Pada acara kematian orang Minahasa tempo dulu, telah dikenal dua bagian upacara adat. Pertama adalah upacara adat Ngolongan atau "Mangolongan", upacara ini berbentuk tarian yang ditujukan kepada jenazah yang akan dimasukkan dalam batu kubur Waruga .
Kedua adalah upacara adat Rumou'tana' upacara ini dilakukan pada hari ketiga dengan membawa rumah-rumahan dari kayu yang disebut Balongsong kesuatu tempat yang jauh dari rumah yakni di ladang atau kebun milik orang yang meninggal dunia.
Upacara ini khusus ditujukan kepada roh orang yang meninggal agar meninggalkan rumah semasa hidupnya dan berpindah ke rumah-rumahan yang disebut Balongsong .
Dan, dari tempat itulah roh yang sudah mati akan naik ke langit menjauhi bumi.

          Waruga dan Balongsong sama-sama penting dalam upacara kematian. Tapi, karena Balongsong terbuat dari kayu maka cepat membusuk, lapuk dan hilang dimakan waktu, berbeda dengan Waruga yang terbuat dari batu.
Satu-satunya Balongsong yang masih tersisa adalah Balongsong yang disimpan di museum Jakarta dengan nomor katalog 2895.A.
Balongsong ini dibuat untuk upacara kedukaan nyonya Hukum Kadua Tonsawang di negeri Kuyanga, Balongsong ini dibawa ke Jakarta (Batavia) pada tahun 1893.
Nyonya Hukum Kadua Tonsawang semasa hidupnya senang melakukan perjalanan dengan menunggang kuda, ketika seorang peneliti Belanda DR. W. R. Van Hoevell melakukan perjalanan dari Tonsawang ke Tombatu tahun 1856, dia pernah bertemu dengan nyonya Hukum Kadua ini, kisah pertemuan itu ditulis dalam bukunya " Fragment uit een reis verhaal " jilid III tahun 1856 halaman 82.
Kisahnya rombongan peneliti barat itu kemalaman ditengah hutan lebat menuju Tombatu, antara negri Mundung dan Kuyanga.
Tiba-tiba dia mendengar suara-suara wanita lalu muncullah tiga penunggang kuda wanita didahului oleh wanita tua yang telah berambut putih yang memperkenalkan diri sebagai nyonya Hukum Kadua Tonsawang.
DR. W.R. Van Hoevell terheran-heran melihat ketiga wanita ini yang berjalan di jalan yang tidak rata dan berbelok-belok turun naik, apalagi di tengah hutan lebat yang gelap dan hanya di terangi sinar bulan.

          Dari sini dapat kita mengerti mengapa Balongsong dari Tonsawang yang terdapat di museum Jakarta itu bermotif hias gambar manusia wanita dan gambar manusia diatas kuda.
Gambar ini dianalisa oleh penulis N. Graafland dalam bukunya " De Minahasa " jilid II tahun1898 halaman 39 sebagai gambar seekor anjing.
Tapi kemudian dikoreksi oleh penulis DR. Hetty Palm dalam bukunya " Ancient art of the Minahasa " halaman 5, dia mengatakan bahwa bukan gambar anjing yang ada di Balongsong itu, tapi gambar kuda.
Karena, sesuai dengan kegemaran si pemilik Balongsong, nyonya Hukum Kadua Tonsawang semasa hidupnya yang suka menunggang kuda .
Rumah Roh Balongsong di museum Jakarta itu sebagai benda " Anthropologi-religi " warna hitam putih, tinggi 130 cm, panjang 100 cm, lebar 38 cm punya hiasan dan ukiran serta bentuk yang dapat mengungkapkan konsep agama asli Minahasa mengenai roh manusia .
Nampaknya orang meninggal di Minahasa punya dua rumah, rumah untuk badan kasar (jenazah) di Waruga dan rumah untuk roh di Balongsong.

           Sekarang ini, kita ketahui adalah bahwa kubur orang Minahasa tempo dulu hanya Waruga yang artinya "Wale" (rumah), "Ruga" (terbongkar hancur) tempat jenazah berubah menjadi tulang-belulang.
Ternyata dalam upacara kedukaan Minahasa tempo dulu disiapkan dua rumah-rumahan untuk si yang meninggal
(1). Rumah-rumahan dari batu disebut Waruga untuk jenazah.
(2). Rumah-rumahan dari kayu disebut Balongsong untuk roh, yang diletakkan jauh dari rumah untuk persiapan        menuju negri langit .

           Perbedaan lainnya adalah bekal kubur dalam Waruga berupa barang bernilai yang menunjukkan status sosial seperti piring porselin, senjata tajam, emas, manik-manik.
Sedangkan isi dari Balongsong sangat sederhana yakni peralatan makan dan kehidupan seseorang di hari tuanya sebelum meninggal yang kembali pada kehidupan purba.

          Kita lihat laporan kisah perjalanan ilmuwan Alfred Russel Walles mengenai Minahasa dalam bukunya " Malay Archipelago " tahun 1869 halaman 384 - 385 :  " The major Tomohon (Roland Ngantung Palar) was dressed in a suit of black really looked gentlemanly, the major's father who was chief before him, lived in rude hut ruised on a lofly poles decorated with human heads, " Artinya, Hukum Besar Tomohon (Roland Ngantung Palar) berbusana hitam seperti tuan-tuan, ayahnya yang bekas Hukum Besar Tomohon yang dia gantikan, hidup dirumah sederhana dan berhiaskan tengkorak manusia.
Ayah Hukum Besar, major Tomohon bernama Palar adalah bekas letnan dalam perang Jawa yang kembali ke Minahasa tahun 1830 yang dimasa tuanya tahun 1869 hidup dipondok sebelah rumah anaknya yang waktu itu adalah pembesar (major) Kepala Walak Tomohon .

            Inilah gambaran penghidupan masyarakat Minahasa pada periode pra-kristen, dimasa lalu, tapi kebiasaan seperti itu masih penulis lihat pada masa tua penulis budayawan Minahasa H.M. Taulu.
Dimasa tuanya di Manado penulis lihat tahun 1981 tidak mau makan dipiring porselen tapi dipiring kaleng dan minum dari tampurung .

            Pembuatan Balongsong di Minahasa kemungkinan mulai menghilang tahun 1870-an sedangkan pembuatan Waruga masih berlanjut sampai tahun 1900-an, hingga Balongsong di museum Jakarta asal negeri Kuyanga Minahasa sangat penting diteliti karena mengandung nilai konsep orang Minahasa mengenai roh jiwa manusia.
Kebiasaan orang Minahasa sekarang ini membuat kursi dan meja kecil di kubur orang yang baru meninggal adalah kelanjutan tradisi Balongsong.
Tapi tradisi membuat kursi dan meja mini di dekat kubur memberi kesan mendekatkan peralatan roh si mati dengan jenazah atau tulang-belulang si mati.
Sedangkan konsep orang Minahasa tempo dulu membuat Balongsong adalah untuk menjauhkan roh si mati dengan jenazahnya, supaya roh si mati melupakan badan kasarnya yang bersifat duniawi.

            Bagi masyarakat biasa yang tidak dimakamkan pada batu Waruga untuk menghormati jenazah si mati, tetap harus dibuatkan rumah roh Balongsong agar roh si mati dapat menemukan jalan ke negeri langit dan tidak kembali ke bumi sebagai hantu.

           Gambar sketsa rumah-rumahan peti kayu Balongsong terlihat ada sayap-sayap dikiri-kanan, sayap paling atas menggambarkan kepanjangan bubungan rumah adat Minahasa .
Dibagian bawah atap segi tiga terdapat soldor atau loteng yang dalam upacara adat termasuk bahagian yang paling suci dari seluruh rumah.
Sayap-sayap dibawahnya memberi kesan haluan perahu Minahasa yang bukan perahu penangkap ikan, tapi perahu pelayaran antar pulau atau perahu pengangkut jarak jauh. Memberi kesan "Perahu Hayat" atau perahu yang membawah roh si mati ke negeri langit.
Pada sayap ada ada hiasan kotak-kotak bertitik mirip motif hias kain tenun Bentenan yang disebut "Lengkey Wanua"
(Lengkey = tinggi, Wanua = negeri) negeri yang tinggi di langit.
Gambar manusia jenis wanita dalam bentuk gambar bayi dengan kedua tangan keatas, roh manusia yang meninggal kembali menjadi bayi untuk dilahirkan kembali ke negeri roh.
Gambar orang naik kuda juga memberi kesan perjalanan berkuda ke negeri langit .

            Bentuk Balongsong dan motif hiasnya tidak menggambarkan status sosial si mati seperti motif hias pada Waruga, tapi simbolisasi perjalanan roh si mati ke dunia yang lain di langit .

Oleh :

Jessy Wenas

CAP TIKUS


C a p   T i k u s

               Siapapun yang datang mengunjungi daerah Minahasa, tentunya akan mengetahui jenis minuman tradisional Minahasa beralkohol tinggi yang lebih dikenal dengan "Cap Tikus".
Minuman yang diproduksi tanpa ada campuran kimia ini memang dihasilkan oleh para petani yang daerahnya banyak dipenuhi pohon "Seho" .
Minuman "cap tikus" ini dibuat sendiri oleh orang Minahasa dan orang Sangir dengan cara tradisional.
Sebelum dibuat "Cap Tikus", para petani harus "Batifar" dulu untuk menghasilkan minuman "Saguer" yang diambil dari pohon seho atau aren - dalam bahasa Minahasa disebut "Akel" .

               Saguer dibuat dengan cara tangkai bunga pohon aren yang sebesar pergelangan tangan orang dewasa, dibersihkan dan dipukul-pukul selama beberapa hari lalu dipotong.
Dari potongan ini akan keluar getah warna putih susu yang menetes dengan cepat hingga perlu tempat penampungan yang ukuran seruas bambu. Cairan warna putih susu inilah yang dinamakan Saguer.
Dalam pembuatan cap tikus, air saguer tadi dialirkan melalui pipa-pipa bambu yang sudah diatur sedemikian rupa. Uap panas yang melalui pipa bambu yang panjang ketika mencair akan berubah menjadi Cap Tikus.
Para pembuat Cap Tikus lebih suka memilih lokasi pegunungan yang dingin dan tempat berbukit supaya pipa bambu penyulingan tidak diatas pohon tapi dipermukaan tanah perbukitan.

               Legenda Minahasa mengenal dewa Makawiley sebagai dewa saguer pertama (Leway = busa saguer). Kemudian ada juga dewa saguer yang bernama Kiri Waerong yang dihubungkan dengan pembuatan gula merah dari saguer yang dimasak .
Dewa saguer yang ketiga adalah dewa Parengkuan yang dihubungkan dengan air saguer yang menghasilkan Cap Tikus . Parengkuan mempunyai kata asal "rengku" artinya, minum sekali teguk ditempat minum yang kecil.
Dari arti kata tersebut maka orang Minahasa menyakini bahwa Parengkuan adalah orang Minahasa pertama yang membuat minuman Cap Tikus.

               Minuman keras tradisionil Minahasa ini pada mulanya bernama sopi. Namun, nama "Sopi" berubah menjadi Cap Tikus ketika orang Minahasa yang mengikuti pendidikan militer untuk menghadapi perang Jawa, sebelum tahun 1829, menemukan mimuman "Sopi" dalam botol-botol biru dengan gambar ekor tikus. Minuman "Sopi" itu dijual oleh para pedagang Cina di Benteng Amsterdam Manado.
Dalam upcara naik rumah baru, para penari Maengket menyanyi lagu Marambak untuk menghormati dewa pembuat rumah, leluhur Tingkulendeng . Tuan rumah harus menyodorkan minuman Cap Tikus kepada Tonaas pemimpin upacara adat naik rumah baru sambil penari menyanyi " tuasan e sopi e maka wale " artinya, tuangkan minumam Cap Tikus (sopi) wahai tuan rumah.

               Keterangan mengenai minuman Cap Tikus di Ternate ditulis oleh juru tulis pengeliling dunia Colombus dari Spanyol bernama Antonio Pigafetta. Setelah kapal mereka melalui dua buah pulau Sangir dan Talaud lalu tanggal 15 Desember tahun 1521 mereka tiba di pelabuhan Ternate - dijamu Raja Ternate dengan minuman arak yang terbuat dari air tuak yang dimasak.
Sayang sekali buku "Perjalanan keliling dunia Antonio Pigafetta" terbitan tahun 1972 halaman 127 - 128 tidak menjelaskan dari mana Raja Ternate mendapatkan minuman Cap Tikus.
Kalau kita lihat masyarakat Ternate tidak punya budaya "Batifar" hingga kemungkinan besar minuman Cap Tikus sama halnya dengan beras yang didatangkan ke Ternate dari Minahasa.
Budaya produksi dan menjual minuman Cap Tikus masih berlanjut di Minahasa hingga sekarang ini dengan penjualan sampai ke Irian.
Data ini menunjukkan bahwa bukan orang Spanyol yang mengajarkan cara membuat minuman Cap Tikus di Minahasa.
Karena , waktu pertama kali orang Spanyol datang di Ternate, minuman itu sudah ada.
Bagi orang Spanyol, minuman Cap Tikus telah menjadi bumerang karena melalui minuman itulah orang Spanyol di usir dari Minahasa. Hal itu terjadi karena serdadunya suka mabuk-mabukan dan akhirnya membunuh Dotu Mononimbar di Tondano dan melukai anak Kepala Walak Tomohon tahun 1644.

               Masa hidup dewa minuman keras Minahasa Opo Parengkuan adalah sebelum periode kedatangan bangsa kulit putih Portugis - Spanyol di Minahasa tahun 1512 - 1523.
Pada waktu itu pedagang Cina dengan perahu yang telah datang membawa keramik ke Minahasa.
Dari usia dinasti keramik Cina di Minahasa abad 13 dan abad 14, dapat diperkirakan bahwa orang Cina-lah yang mengajarkan orang Minahasa untuk membuat minuman keras Cap Tikus dengan menyuling Saguer .

               Tapi menurut buku " Adatrechtbundels XVII. 1919 halaman 79 " , minuman keras tradisionil ini telah menyelamatkan orang Minahasa dari ketergantungan Candu dan Opium di abad 18.
Karena orang Minahasa sangat mencintai minuman Saguer dan Cap Tikus, maka orang Minahasa sudah tidak tertarik lagi dengan candu dan opium, walaupun harganya cukup murah.

               Cerita ringan yang sedikit mengandung unsur sejarah ini dapat dijadikan contoh bagi generasi muda sekarang agar menjauhi narkotik yang memang sudah dilarang Opok -Opok dan Dotu -Dotu Minahasa tempo dulu.
Oleh :

Jessy Wenas

zondag 28 juli 2013

perempuan minahasa

Naskah di bawah ini adalah tulisan rintisan untuk maksud penulisan buku dengan judul yang sama. Anda diperkenankan mengutip/menyalin tulisan ini dengan memperhatikan hak cipta, demi hormat dan kemuliaan Bangsa Minahasa.


Tokoh Wanita Minahasa


Bangsa Minahasa memiliki perempuan yang berprestasi. Ini dapat ditelusuri pada leluhur bangsa ini yang adalah wanita. Cikal bakal Minahasa ini bernama Lumimuut yang dipelihara oleh seorang perempuan tua bernama Karema. Lumimuut ini mengawini Toar, anaknya sendiri karena situasi Malesung saat itu yang tidak berpenghuni. Dari keturunan Toar-Lumimuut terbentuklah suatu bangsa yang bernama Malesung yang sekarang dikenal dengan Minahasa. Pada mulanya sistem kekerabatan di Malesung adalah menurut sistem matrilineal, yaitu keturunan yang berdasarkan atas garis keturunan perempuan. Pada perjalanan sejarahnya, sistem kekerabatan Malesung berubah menjadi sistem patrilieal, yaitu sistem kekerabatan yang berdasarkan atas garis keturunan pria seperti penggunaaan fam dewasa ini.

Dalam sejarah bangsa Minahasa, kaum perempuannya memiliki prestasi yang tidak bisa diabaikan. Beberapa kali wanita-wanitanya menjadi tonggak suatu sejarah. Pada masa legenda dahulu ada sejumlah wanitanya yang menjadi pahlawan seperti Lumimuut dan Karema sendiri, Pingkan Tiwow dari Buyungon, Pingkan Mogogunoi dari Tanawangko, Ratu Oki dari Tombatu, Woki Konda dari Pasan-Ratahan, dan lain sebagainya.

Pada era sekarang ini dapat kita catat prestasi sejumlah wanita Minahasa tersebut. Mereka adalah Wilhelmina Warokka (Mien) – seorang guru wanita pertama di Meisjesschool Tomohon, Ny. Maria Y. Walanda-Maramis – seorang pemerhati status sosial kaum wanita Minahasa, Wulankajes Rachel Wilhelmina Ratulangi (kakak Dr. Sam Ratulangi dan istri Mayoor A.H.D. Supit) – wanita Indonesia pertama yang merebut ijasah K.E. (Kleinambtenaar) tahun 1898, Wulan Ratulangi (kakak kedua Dr. Sam Ratulangi) – wanita Indonesia pertama yang berhasil memperoleh ijasah Hulpacte tahun 1912, Nona Marie Doodoh – orang Indonesia pertama yang lulus Europeesche Hoofdacte, Stientje Ticoalu-Adam – pembicara dalam Kongres Pemuda Indonesia tahun 1926 dan 1928, Johana Masdani-Tumbuan – pembaca teks Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda tahun 1928, Ny. S.K. Pandean – singa betina dari Minahasa, Dr. Marie Thomasdokter wanita pertama Indonesia lulusan STOVIA tahun 1922, Dr. Anna Warouw – dokter wanita ketiga Indonesia lulusan STOVIA tahun 1924, Dr. Dee M.A. Weydemuller – dokter wanita kedua Indonesia lulusan NIAS Surabaya 1924, Prof. Dr. Annie Abbas-Manoppo – sarjana hukum wanita pertama Indonesia lulusan HKS Batavia tahun 1934 juga guru besar wanita pertama Indonesia, Ny. A. M. Tine Waworoentoe (anak A.L. Waworuntu) – walikota wanita pertama Indonesia tahun 1950, Antonetee Waroh – anggota parelemen wanita pertama di Indonesia Timur, Dr. Agustina/Zus Ratulangi (anak Dr. Sam Ratulangi) – anggota parlemen wanita & termuda di Indonesia, Pdt. Tine Lumentut – dianggap sebagai wanita pertama di dunia yang memgang jabatan setingkat Uskup Agung dalam kapasitasnya sebagai Ketua Sinode GKST (setingkat Uskup Agung). Selain itu kita mengenal Marianne Katoppo, STh, sastrawan wanita Indonesia, Vonny Anneke Panambunan – wanita yang menjadi Bupati Minahasa Utara sejak tahun 2005, Linneke Sjenny Watoelangkow – wanita yang menjadi Wakil Walikota Tomohon sejak tahun 2005.

Wilhelmina Warokka (Mien)

Nama : Wilhelmina Jacomina Warokka
Nama populer : Mien
Lahir :
Meninggal :
Keluarga:
Ayah : Henrik Alanos Warokka
Ibu : Jacoba Tumangken
Suami : E.W.J. Waworuntu (Pius)
Saudara:
  • Kakak:
  1. Willem Henri Warokka
  2. Calasina Justina Warokka
  3. Adeleida Adriana Warokka
  4. Johanna Carolina Estevina Warokka
  5. Lambertus Alanos Warokka
Adik:
  1. Martha Adeleida Warokka
  2. Martje Warokka
  3. Alexander Frederik Daniel Warokka
  4. Maria Bokky Warokka
Anak : 8 anak

  • WAROKKA, Wilhelmina ‘Mien’WAWORUNTU-, Putri Kepala Distrik Kawangkoan Mayoor H.A. Warokka. Sekolah di Sekolah Nona (Meisjesschool) Tomohon, dan lulus 1886, langsung diangkat menjadi guru wanita pertama. Menikah usia 15 tahun dengan Exaverius Walewangko ‘Pius’ Waworuntu yang belakangan menjadi Kepala Distrik Sonder. Ibu 8 anak (2 putri menjadi guru, ada hukum kedua di Manado, dan seorang menjadi walikota Manado)

    guru wanita pertama di Meisjesschool Tomohon, dan memberinya 8 anak (2 putri menjadi guru, ada hukum kedua di Manado, dan seorang menjadi walikota Manado).

    Louwerier pada tanggal 1 November 1881 mensponsori pembukaan Meisjesschool (Sekolah Nona) di Kuranga. Sekolahnya berbahasa Belanda, dengan para murid merupakan anak-anak perempuan tokoh masyarakat dan pemerintahan. Lalu sebagai imbangannya didirikan HIS Jongenschool di Talete (untuk asrama dan rumah direktur) dan persekolahan di Paslaten disamping gereja besar.
    Sebagai kepala sekolah Meisjesschool adalah Gysbertha C. Krook dengan murid pertama 33 orang. Sekolah ini kelak digabung dengan Jongenschool menjadi Louwerierschool yang terkenal.

    Tomohon di masanya jadi pusat kegiatan Indische Kerk dengan adanya STOVIL dan Sekolah Nona, selain pusat kegiatan NZG yang masih mempertahankan Kweekschool voor onderwijzers en voorangers di Kuranga serta sekolah-sekolah lain.

    Disamping Wilken dan Louwerier, sejumlah zendeling yang banyak membantu usaha-usaha mengkristenkan penduduk Tomohon dan banyak menghasilkan tenaga-tenaga cendekia pertama, dalam jabatan mereka sebagai Direktur Kweekschool Kuranga, adalah H.C. Kruyt (1886-1889, yang kelak ke Batak), A. Hulstra (1889-1890), J.H. Riebenk Rooker (1890-1926), H. Berends ten Kate (1926-1927) dan Jan Mulder (1927-1930).

    Selain itu ada Pendeta H.J. Moens yang bertugas tahun 1895-1896, lalu Zendeling A. Limburg yang tahun 1893 jadi Kepala Jongenschool dan sejak 1895 selaku Kepala Meisjesschool.
    Untuk itu di tahun 1881, dibuka sekolah wanita Meissjeschool, atau sekolah Nona, di Kuranga, khusus untuk anak-anak wanita dari orang terkemuka, dipimpin kepala sekolah Gysbertha C. Krook.

    Awalnya sekolah ini memakai gedung Sekolah Guru ketika sempat ditutup, lalu dipindah ke Kaaten. Sekolah tersebut merupa-kan SD 6 tahun berbahasa Belanda, lengkap dengan asrama, sebagai imbangan dari Sekolah Raja (Hoofdenschool) yang dibentuk pemerintah Belanda di Tondano. Gijsberta Krook memimpin hingga meninggal dunia tahun 1886 dalam usia 36 tahun dan dikuburkan di Talete I. Kepala sekolah Meisjesschool terkenal lainnya sejak tahun 1895 adalah A. Limburg.

    Sekolah Nona yang terkenal di Kaaten.

    Hingga sebelum Perang Dunia ke-2, di Tomohon terdapat sebuah sekolah taman kanak-kanak (Frobel, kini TK ‘Sion’) di Paslaten, yang berdiri sejak bulan November 1935.

    Pelajar Sekolah Nona (Meissjesschool) bergerak jalan.

    Sementara untuk pengajaran rendah (Lager onderwjs), terdapat sekolah-sekolah dasar berbahasa Melayu. Seperti Volkschool, Inlands 2e kl. dan Vervolgschool. Sekolah Zending yang berbahasa Melayu, kebanyakan dibangun oleh NZG. Sekolah ini disediakan bagi anak-anak rakyat kebanyakan. Ada SD 3 tahun, 5 tahun dan 6 tahun. Seperti Sekolah berbahasa Melayu milik NZG yang terkenal dengan julukan Sekolah Undap (L. Undap) di Kamasi (kini kompleks asrama RSU Bethesda), dan lain-lainnya.
    Sekolah Rak-yat yang didirikan pemerintah Belanda di Tomohon, antara lain: Sekolah Kelas 2 (Tweede Inland-sche School) 5 tahun, milik Gubernemen Nomor 1 di Paslaten (II kini). Untuk Nomor 2-nya di SDN II Matani III kini. Sekolah Kelas I (Eerste Inlandsche Sch-ool) hanya terdapat di Manado.
    Pelajar Sekolah Nona tahun 1935.

    Ny. Maria Y. Walanda-Maramis

    Ny. Maria Y. Walanda-Maramis
    (1872-1924)
    Pahlawan Nasional Indonesia
    Nama : Maria Josephine Chatarine Maramis
    Nama populer : Ny. Maria Walanda-Maramis / Noni

    Lahir : Kema, 1 Desember 1872
    Meninggal : Maumbi, 22 April 1924
    Keluarga:

    Ayah : Bernardus Maramis
    Ibu : Sarah Rotinsulu
    Om : Esau Rotinsulu (Mayoor Tonsea)
    • Suami : Joseph Frederick Kalusung Walanda (menikah tahun 1891)
    • Anak :

      1. Wilhelmina Frederika Walanda
      2. Paul Alexander Walanda
      3. Anna Pawlona Walanda
      4. Albertina Pauline Walanda
    Pendidikan:
    Peranan-Peranan:
    - tanggal 8 Juli 1917 mendirikan PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya)

    Maria Walanda-Maramis dan suaminya pada peringatan hari pernikahan mereka.

    Maria Walanda-Maramis dilahirkan di Kema pada tanggal 1 Desember 1872 dari keluarga Maramis-Rotinsulu. Ia mempunyai dua orang kakak, masing-masing Altje Maramis dan Andries Maramis (ayah Mr. A.A. Maramis).
    Ketika baru berusia setahun, kedua orang tuanya meinggal dunia karena epidemi. Ia kemudian diambil oleh omnya yaitu T. Enoch Rotinsulu yang tinggal di Maumbi. Mereka mengasuh dan mendidik Noni seperti anak kandung mereka. Kemudian ia disekolahkan di SD Maumbi.
    Selama dalam asuhan keluarga Enoch Rotinsulu, Noni menunjukkan sifat-sifat sederhana, patuh, rajin dan cakap mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya seperti merawat rumah, memasak dan tugas lainnya sebagai wanita. Dalam tingkah lakunya sehari-hari sudah nampak sejak kecil kehalusan jiwanya, pengetahuan yang luas dan tinggi, berjiwa besar dan seorang wanita yang mempunyai cita-cita tinggi.
    Ibu Maria menikah di Maumbi dengan orang Tanggari bernama Joseph Frederick Kalusung Walanda tanggal 22 Oktober 1891. Setelah menikah Ibu Maria lebih dikenal dengan Ny. Maria Walanda-Maramis. Keduanya dikaruniai 4 orang anak, yaitu 3 orang putri dan seorang putra, masing-masing bernama Wilhelmina Frederika, Paul Alexander, Anna Pawlona dan Albertina Pauline.
    Dengan bantuan teman-temannya, Noni Walanda-Maramis mendirikan organisasi PIKAT, yaitu Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya, pada tanggal 8 Juli 1917 sebagai langkah pertama untuk mewujudkan cita-citanya.
    Melalui PIKAT, berdirilah Huis Houd School atau Sekolah Rumah Tangga PIKAT pada tahun 1918. Wanita yang diterima dalam sekolah ini adalah wanita-wanita pribumi (Minahasa, dll) baik dari golongan tinggi, menengah maupun rendah. Di sana diberikan pengetahuan tentang pengurusan rumah tangga, memasak, menjahit, etiket (sopan santun). Melalui lembaga pendidikan ini kedudukan kaum wanita pribumi Hindia-Belanda di Minahasa makin lama makin meningkat.
    Gubernur Jenderal Hindia Belanda:
    tahun 1909-1916 A.W.F. Idenburg (kiri), dan tahun 1916-1921 J.P. graaf Van Limburg Stirum (kanan).

    Maria Walanda-Maramis meinggal di Rumah Sakit Manado pada tanggal 22 April 1924 dan dikuburkan di Maumbi. Pada detik-detik terakhir mengakhiri hidupnya, Ibu Walanda-Maramis sempat berpesan kepada suami dan teman-temannya, “Tolong lanjutkan hidup anakku yang bungsu , yaitu PIKAT.” Suami dan teman-teman dekatnya yang begitu mengasihinya berjanji untuk memelihara dan melanjutkan PIKAT dan sekolahnya.
    Atas jasa-jasanya, melalui perjuangan BPP PIKAT dan pimpinan-pimpinan cabang di Manado, Kepala Inspeksi Sosial Sulut serta restu Gubernur Sulut H.V. Worang, Noni diusulkan kepada pemerintah untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Pemerintah RI dengan pertimbangan yang matang yaitu dengan memperhatikan perjuangannya yang tidak kenal pamrih dan tidak pernah padam demi kemajuan wanita dalam penindasan, menetapkan Maria Walanda-Maramis pada tanggal 20 Mei 1969 sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesia (Pahlawan Nasional Indonesia), sejajar dengan pahlawan-pahlawan wanita lainnya di Indonesia.



    Stien Adam
    Nama :Nama populer :
    Lahir :
    Meninggal :
    Keluarga:
    • Ayah :
    • Ibu :
    • Suami : Ticoalu
    • Anak :
    Stien Adam – Sumpah Pemuda 1928

    ADAM, Mr. Sientje ‘Stien’ TICOALU-, Tokoh wanita. Aktivis pemuda Minahasa di tahun 1920-an. Menghadiri dan menjadi salah satu pimpinan Kongres Pemuda yang lahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.


    Johana Masdani-Tumbuan

    Johana Masdani-Tumbuan(1910-2006)


    Nama : Johana Tumbuan
    Nama populer : Johana Masdani-Tumbuan / Jo
    Lahir : Amurang, 29 November 1910
    Meninggal : Jakarta, 13 Mei 2006
    Keluarga:
    • Ayah :
    • Ibu :
    • Suami : Masdani
    • Anak :


    TokohIndonesia.com:
    Nama : Johanna Masdani Tumbuan
    Lahir : Amurang, Sulawesi Utara, 29 November 1910
    Meninggal : Jakarta, 13 Mei 2006
    Suami : Masdani
    Pendidikan:
    - Christelijke MULO di Jakarta
    - Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1961
    Aktivitas:
    - Jong Indonesia
    - Palang Merah Indonesia
    - Pembimbing Pandu Rakyat Indonesia
    - Pemuda Puteri Indonesia
    - Pelaku sejarah rapat Sumpah Pemuda
    - Saksi sejarah detik-detik proklamasi
    - Pelopor Pejuang Puteri dengan pangkat Letnan I non-NRP
    -
    Penghargaan,al:
    - Medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia
    - Bintang Gerilya
    - Satya Lencana Penegak
    - Bintang Mahaputra Utama 1998
    Alamat Keluarga:
    Jalan Menteng Raya 25, Jakarta Jakarta Pusat



    Johanna Masdani (1910-2006)Bangsa Indonesia yang Sebenarnya

    “Saya menjadi bangsa Indonesia dalam arti kata yang sebenarnya,” kata Jos, panggilan akrab Johanna Masdani, saat ikut aktif dan terlibat dalam perkumpulan pemuda Indonesia di Gedung Indonesisch Clubhuis. Puteri bangsa kelahiran Amurang, Sulawesi Utara, 29 November 1910, ini berpulang Sabtu, 13 Mei 2006, dalam usianya yang 95 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka di Jalan Menteng Raya 25, Jakarta. Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Senin (15/5).
    Gedung Indonesisch Clubhuis tersebut saat ini dikenal sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Sebagaimana ditulis dalam buku Apa dan Siapa 1985-1986, yang diterbitkan majalah TEMPO pada 1986, berawal di gedung itulah siswa Christelijke MULO di Jakarta itu memulai keterlibatannya pada pergerakan Indonesia.
    Di sana ia bertemu dengan tokoh-tokoh kala itu, seperti Moh Yamin, Dr Rusmali, Mr Asaat juga dengan Masdani—mahasiswa kedokteran Stovia—yang kemudian mempersuntingnya.
    Dari Masdani, yang wafat pada Oktober 1967, itu Jos banyak belajar tentang keberpihakan kepada rakyat dan Indonesia. Jos yang lahir pada 29 November 1910 di Amurang, Sulawesi Utara, dan berasal dari keluarga yang berada memutuskan menjadi guru di Perguruan Rakyat, Gang Kenari, Jakarta setelah semua bantuan dari orangtuanya diputus hanya karena ia memulai perjuangannya.
    Dalam buku Apa dan Siapa tersebut disebutkan, Jos pernah menjadi stenotypist pada Departemen van Financien sambil terus aktif dalam Jong Indonesia. Lulus dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada 1961, ia kemudian mengajar di almamaternya itu.
    Semasa pergerakan, ia aktif dalam Palang Merah Indonesia, menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia serta menjadi aktivis sosial Pemuda Puteri Indonesia. Ia dikenal juga sebagai salah satu pelaku sejarah rapat Sumpah Pemuda dan menjadi saksi sejarah detik-detik proklamasi. Ia pun menjadi Pelopor Pejuang Puteri dengan pangkat Letnan I non-NRP.
    Dari Menteri Pertahanan Keamanan Ali Sastroamidjojo, ia memperoleh Medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia. Itu adalah satu dari delapan penghargaan yang diperolehnya dari Pemerintah Indonesia. Terakhir ia memperoleh Bintang Mahaputra Utama dari Presiden BJ Habibie tahun 1998. Semasa Soekarno, ia memperoleh Bintang Gerilya dan Satya Lencana Penegak dari Presiden Soeharto. (Kompas, 14 Mei 2006). ► e-ti/crs

    Wikipedia.org:
    Johanna Masdani (lahir 29 November 1910 di Amurang, Sulawesi Utara, meninggal 13 Mei 2006 di Jakarta), adalah seorang pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia. Ia dilahirkan dengan nama Johanna Tumbuan. Sebagai aktivis pemuda-pemudi menjelang kemerdekaan, Johanna banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh lain, seperti Mohammad Yamin, Dr. Rusmali, Mr. Assaat, dll. Ia pun bertemu dengan Masdani, juga seorang tokoh pergerakan yang kemudian melamarnya untuk dijadikan istri. Masdani telah meninggal mendahuluinya pada Oktober 1967.
    Saksi sejarah
    Johanna termasuk di antara 71 pemuda yang hadir dalam Kongres Pemuda Kedua, Oktober 1928 dan turut serta mengikrarkan Sumpah Pemuda yang berlangsung di sebuah gedung yang terletak di Jalan Kramat Raya no. 106 Jakarta Pusat.
    Selain itu, Jo -- demikian ia biasa dipanggil -- juga menjadi seorang saksi sejarah detik-detik Proklamasi Indonesia yang dilakukan oleh Bung Karno dan Bung Hatta ada 17 Agustus 1945. Ia juga ikut serta menyusun konsep pembangunan Tugu Proklamasi yang sederhana di depan rumah Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur (kini Jl. Proklamasi) no. 56, Jakarta. Tugu ini kemudian dibongkar oleh Bung Karno, namun dibangun kembali pada tahun 1980-an.
    Perjuangan
    Jo juga pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat di Gang Kenari, Jakarta, saat bantuan dari orangtuanya di kampung halaman terhenti. Ia juga aktif dalam Palang Merah Indonesia, menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia, serta menjadi aktivis sosial Pemuda Puteri Indonesia.
    Dalam catatannya pada tahun 1945 hingga 1949, Jo pernah menulis, “Roda revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa wanita. Demi kemerdekaan sampai titik darah penghabisan Merdeka atau Mati, tanpa pamrih membela bangsa dan negara tanah air Indonesia tercinta.”
    Di alam kemerdekaan, Jo menjadi mahasiswa psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Setelah lulus dari alma maternya, Jo mengabdikan diri sebagai dosen psikiatri sejak 1961. Pada tahun 1970-an, ia sempat pula mengambil pendidikan lanjutan di Amerika Serikat dan Inggris.
    Penghargaan
    Hampir sama seperti suaminya, Jo banyak mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada 1953 ia memperoleh medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia dari Menteri Pertahanan Keamanan Ali Sastroamidjojo. Pada 1958 ia mendapat Bintang Satya Gerilya dari Presiden Soekarno. Pada tahun 1967 semasa Presiden Soeharto, ia mendapat Bintang Satya Lencana Penegak. Ia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama pada tahun 1998 dari Presiden B.J. Habibie. Secara keseluruhan, Jo mendapat delapan bintang dari Pemerintah RI.
    Jo dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 15 Mei 2006.

    dinsdag 9 juli 2013

    TRADISI TOU MINAHASA

    Makna Budaya Kesehatan Reproduksi dan Penamaan Orang Minahasa
            
                                                Oleh: Albert Kusen

    SEBAGAIMANA diketahui bahwa salah satu sistem kepercayaan kesehatan yang sejak tempo doeloe sangat diperhatikan oleh orang Minahasa, adalah berkenaan dengan kesehatan reproduksi. Sistem kepercayaan kesehatan reproduksi ini berkaitan dengan upaya untuk mencegah segala gangguan atau ancaman kesehatan tehadap ibu selama kehamilan, persalinan maupun pascasalin. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mencegah agar sang ibu tidak mengalami gangguan kesehatan, dianjurkan kepada sang suami agar senantiasa memperhatikan apa yang dihendaki istrinya yang lagi hamil sampai pascasalin, seperti diungkapkan: ’’rei manun ka se tuama dei makiwe si wewene paar” (lihat Kusen 2002).
    Singkatnya, seorang ibu yang sedang hamil secara budaya, melalui petunjuk atau nasehat orang tua atau bidan desa (Biyang-Kampung), agar menaati segala hal yang tidak boleh dilakukan (pasooan). Misalnya, ibu yang sedang hamil tidak boleh berdiri di depan pintu; tidak boleh berjalan sendirian di malam hari; tidak boleh duduk di sudut meja, dan sebagainya. Apabila pantangan ini dilanggar, sang ibu akan mengalami kesulitan selama masa kehamilan, terlebih pada saat melahirkan bayi yang dikandungnya.

    Demikian juga pada masa pascasalin/setelah melahirkan (2 minggu), demi kesehatan dan keselamatan sang ibu, secara budaya diwajibkan untuk menaati kebiasaan atau tradisi, antara satu-dua minggu pascasalin. Selama masa pascasalin sang ibu diwajibkan melakukan upacara mandi ramuan tradisional yang disebut bakera.
    Proses pelaksanaan bakera biasanya ditangani langsung oleh bidan desa (biyang) yang menolong ibu sewaktu melahirkan bayinya. Adapun bahan-bahan ramuan yang disediakan oleh biyang, seperti:
    1) Daun-daunan (wiwi, kales merah dan putih, balacae).
    2) Akar-akaran (sese’mbanua, goraka, karimenga, kunere).
    3) Kayu-kayuan (kayu lawang, kayu cengkeh).
    4) Buah-buahan (jeruk, cengkeh).

    Mekanisme pelaksanaan bakera melalui proses sebagai berikut: 1) Semua bahan-bahan ramuan diiris-iris sampai halus, semuanya dimasukkan ke dalam pan besar (kure wangko), kemudian dimasak atau direbus di atas 3 buah batu sampai mendidih; 2) Setelah air mendidih, ramuan diaduk-aduk, selanjutnya didinginkan. Sementara itu, ketiga batu sebagai tempat memasak dibakar terus sampai merah;
    3) Selanjutnya, setelah dirasakan air dan bahan-bahan yang direbus sudah dingin, si ibu didudukan pakai kursi yang diletakkan sedemikian rupa di atas ke tiga batu yang sudah memerah/panas. Kemudian disiramlah air yang sudah dingin itu ke permukaan batu-batu tersebut. Ketika terjadi penguapan, si ibu segera menghirup uap air sampai dirasakan keseluruhan tubuhnya berkeringat. Apabila masih ada sisa air raramuan tersebut, dimanfaatkan untuk membersihkan dan mendinginkan tubuh si ibu (Kusen 1992).
    Makna tradisi bakera ini, berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, dan nilai bahwa ibu yang baru melahirkan, dianggap mengalami pendarahan secara simbolik dianalogikan banyak mengeluarkan unsur panas dari dalam tubuh si ibu. Sebagai konsekuensinya perlu dikembalikan unsur panas itu ke dalam tubuh si ibu melalui upacara bakera tersebut; sekaligus untuk membersihkan kondisi tubuh si ibu agar sehat dan kuat merawat sang bayi yang dilahirkan. Kecuali itu, untuk mencegah timbulnya penyakit yang paling ditakuti oleh ibu-ibu baru melahirkan, adalah penyakit ‘bantahang’ (darah putih naik di kepala), secara bio-budaya si ibu bisa mengalami gangguan jiwa atau risiko kematian/meninggal (Kusen 2002).

    Sistem Kepercayaan Persalinan dan Penamaan Bayi - ‘Potong Pusa’
    Menurut kepercayaan orang Minahasa tempo doeloe, seorang ibu hamil demi kelancaran persalinannya nanti, sesuai dengan petuah atau nasihat berdasarkan adat istiadat setempat diharuskan menaati segala hal yang bersifat pantangan (poso-poso/posan). Makanya, dalam menghadapi persalinan atau sebelum bersalin, biasanya orang tua sang ibu hamil akan memanggil Tona’as bersama dengan Biang Kampung (bidan) mengadakan upacara adat untuk mencegah segala ancaman atau gangguan berupa ruh halus (welana) yang dipercaya dapat mengganggu proses kehamilan.
    Suatu hal yang sering diberi nasihat kepada suaminya, diharuskan untuk menuruti apa yang diidamkan istrinya yang sedang hamil (mangidang), karena kalau tidak akan berimplikasi terjadinya gangguan psikis atau stress di mana hal ini akan mengganggu proses persalinan dan kesehatan si ibu (rei wangun ka ‘setuama dei makiwe si ‘wewene pa’ar).
    Demikian juga menjelang persalinan, selain memberi petuah-petuah yang berkaitan dengan posan, Tona’as akan memerintahkan agar semua barang (peti, lemari, pintu, jendela) dan ikatan-ikatan yang ada di dalam lingkungan rumah dibuka agar proses kelahiran berjalan lancar dan mudah (Kusen 2002).

    Seperti dimaklumi bahwa sebelum agama Kristen masuk di Minahasa, sudah menjadi tradisi orang Minahasa untuk melakukan upacara penamaan anak-‘potong pusa’.
    Mengalami peristiwa kelahiran bayi sungguh merupakan hal yang membahagiakan bagi orang tua si bayi dan keluarganya. Dalam konteks jenis kelamin, tidak dipersoalkan oleh keluarga, yang penting bayi lahir dengan selamat dan sehat. Biasanya pihak keluarga sudah menyiapkan nama sang bayi, dan sebagaimana biasanya sebelum pemberian nama, dilihat dulu kondisi fisik si bayi, apakah ada kemiripan dengan kakek (opa) atau nenek (oma) si bayi menurut garis keturunan ibunya maupun ayahnya. Hal ini dimaksud untuk menghormati pendahulunya.
    Setelah terjadi penamaan, langsung dilihat reaksi si bayi, kalau dia menangis dan melakukan gerakan-gerakan bermakna, itu berarti mendapat tanggapan positif dari leluhurnya. Jika si bayi hanya diam/tidak bereaksi, maka segera membatalkan nama yang sudah terlanjur diberikan untuk diganti dengan nama baru. Setelah si bayi memperoleh nama, sebelum digunakan untuk menyebut si bayi penetapan untuk meneguhkan nama resmi si bayi melalui upacara adat, di mana sebelum masuknya agama Kristen, si bayi dicelup (seperti dibaptis) di air sungai yang didahului dengan upacara ‘potong pusa’.

    Yang pasti bahwa mengenai isu penamaan bayi atau nama panggilan seorang anak yang diberikan oleh orang tua (leluhur) dilatarbelakangi oleh nilai-nilai positif. Seperti sebutan panggilan Tole (anak laki-laki), artinya sang anak sudah memiliki ketrampilan, Keke (anak perempuan), artinya sang anak cekatan dan rajin dalam mengurus rumah tangga. Sebutan panggilan Utu-Utu’u (panggilan anak laki-laki), artinya sang anak berperangai yang benar. Sebutan Wewene (perempuan), artinya memberi berkat bagi seisi rumah, sedangkan Tuama (laki-laki), artinya orang (laki-laki) yang sungguh-sungguh menjadi teladan, menjadi tulang punggung atau sandaran keluarga (dikomunikasikan oleh F. Parengkuan, 5/20/2010).#

    KUKIS CUCUR

    KUKIS CUCUR 32 RENDA....

    12 september 2011 om 18:31
    KUKIS CUCUR,BY:FRISKY TANDAYU.http://minahasaku.blogspot.com/2011/07/kukis-cucur-32-renda-kukisnya-para.html
    Bagi Tou Minahasa, kue yang satu ini pasti dikenal. Bisa ditemukan di acara-acara suka maupun duka. Tapi, kebanyakan orang melebel kue ini sebagai “kukis orang mati”. Ini tentu hanya mitos, sebab yang namanya kue, tetap saja kue. Dalam suasana apa saja, ia bisa disajikan. Mungkin, karena kue ini sering ditemukan di malam penghiburan di bangsal kedukaan, tiga malam atau acara mingguan.

    Namanya “kue cucur”. Dalam bahasa Melayu Manado, “kue” disebut “kukis”. Nama “cucur” tak terlalu jelas apa artinya. Kalau ditanya apa arti “cucur” kebanyakan Tou Minahasa hanya akan mengatakan bahwa sejak mereka tahu “kukis” itu, namanya sudah “cucur”. Tak tahu apa artinya. Mungkin, karena itulah sehingga kue ini sering dilekatkan dengan mitos-mitos tertentu.

    Kukis Cucur telah lama dikenal oleh Tou Minahasa. Bahkan kini kebanyakan mengklaim bahwa kue ini adalah khas dari Minahasa. Tempo dulu, menurut penuturan sejumlah orang, kue ini sering disajikan kepada tamu kehormatan. Sebab selain enak, kukis cucur ini memiliki bentuk yang khas. Bagian pinggirannya memiliki banyak renda. Renda pada bagian pinggirannya pun terbentuk sendiri ketika digoreng. Butuh keahlian khusus dalam membuat adonan kukis cucur yang dapat menghasilkan renda di bagian pinggirannya.

    Menurut Tante Masye Sulu, seorang perempuan asal Wanua Pinabetengan yang sudah bertahun-tahun membuat kukis cucur, untuk menghasilkan renda syaratnya haruslah menggunakan tepung beras asli dan “gula batu” atau gula aren yang diolah dengan baik. Kukis cucur yang terbaik memiliki 32 renda. Entah, apa artinya. Yang jelas kebanyakan Tou Minahasa memiliki pemahaman yang seperti itu. “Jadi kalo torang mo beking kukis yang barenda, torang musti pake topong beras yang nda campur tepung terigu. Depe gula batu lei musti tu bagus, yang nda mengandung kelapa,” ujar Tante Masye ketika ditemui Waleta Minahasa saat sedang meracik adonan kukis cucur di wanua Pinabetengan.

                Sekarang ini, untuk membuat kukis cucur, orang sudah menambahkan tepung terigu. Maksudnya agar jumlah kukis cucur yang dihasilkan lebih banyak. Selain itu, karena tepung terigu mudah didapat dan harganya masih lebih murah dari tepung beras, dan juga praktis karena tidak perlu lagi diolah. Di warung-warung, kebanyakan menjual tepung terigu yang siap pakai. “Sekarang orang so ja campur tepung terigu, supaya depe hasil kukis cucur banyak. Apalagi, tepung terigu torang gampang mo dapa, kong so nda perlu lei mo ba giling voor mo dapa depe topong,” ujar tante Masye.

                Di zaman ketika mesin giling tepung belum umum di Minahasa, untuk mendapatkan tepung beras, tou Minahasa harus menumbuk beras di lisung yang terbuat dari kayu. Membutuhkan tenaga ekstra untuk menumbuk beras. Karena harus beberapa kali ditumbuk, baru kemudian bisa mendapatkan tepung beras. Beras yang ditumbuk harus juga diayak menggunakan alat ayakan. Ini untuk mendapatkan tepung beras. Biasanya, hal ini beberapa kali dilakukan sebelum semuanya menjadi tepung beras.

                Sekarang zaman sudah berubah. Masih dengan bahan yang sama, yaitu beras, tapi sudah lebih mudah karena di mana-mana sudah tersedia mesin giling tepung. Sehingga, membuat kukis cucur di zaman ini sudah sangat mudah. Yang tidak berubah dari kukis cucur ini adalah warnanya yang merah kecoklat-coklatan dan rasanya yang legit. Dan memang kukis cucur bentuknya “item legit”, kata orang orang Jawa.

                Kukis cucur paling “sadap” kalo disajikan bersama kopi yang hangat. Kukis cucur juga cocok disantap di sore hari ketika menikmati waktu istirahat setelah seharian bekerja. Apalagi, kalo disantap bersama keluarga di bagian place rumah. “Maar sebenarnya, kukis ini, biasa orang bilang “kukis rame-rame”, lantaran satu kali torang beking, boleh banyak orang mo makang. Sudara deng birman-birman, boleh mo makang sama-sama,” kata tante Masye.



    Kukisnya Para Perawan

    Ada cerita menarik seputar kukis cucur ini. Renda di pinggiran kukis cucur, ternyata tidak sekadar soal kencantikkannya. Namun juga, memiliki nilai dan falsafah hidup. Konon, kukis cucur yang memiliki 32 renda hanya dapat dihasilkan dari tangan seorang perawan atau perempuan yang menikah ketika masih perawan. Cerita ini sudah turun temurun di Wanua Pinabetengan. Tentu, sekarang sudah ditafsir secara baru.

    “Depe cerita yang turun temurun pa torang, ini kukis mo jadi 32 renda kalo yang ba beking masih perawan atau perempuan yang waktu dia kaweng masih perawan. Kita lei nda tahu ini butul atau cuma cerita,” ujar Tante Masye.

                Di Wanua Pinabetengan sendiri masih banyak orang yang percaya dengan cerita ini. Sehingga, pengantin perempuan yang baru menikah, jika tinggal di rumah menantu, biasanya sang ibu mertua akan menyuruhnya untuk membuat kukis cucur bagi seluruh anggota keluarga. Tapi, sekarang ini, rupanya kebiasaan tersebut hanya mengikuti kebiasaan, sebab tidak ada penilaian atau ganjaran khusus jika kukis cucur yang dibuat si pengantin perempuan tidak menghasilkan 32 rendah. “Sekarang katu, so nda talalu jadi ukuran menilai perawan atau nyanda. Mungkin kurang ja lia akang dia tahu kerja atau nyanda,” terang Tante Masye sambil tertawa.



    Cara Membuat

    Bahan-bahan kukis cucur mudah didapat dan sangat sederhana. Untuk membuat sekitar 30-an buah kukis cucur bahan-bahan yang kita perlukan adalah: 1 liter beras untuk digiling menjadi tepung beras, “gula batu” kira-kira setengah kilogram dan air putih satu liter (atau disesuaikan dengan kekentalan adonan). Di wanua lain, ditambah juga dengan kayu manis secukupnya. Jika ingin membuat kukis cucur dalam jumlah yang banyak, bisa ditambahkan tepung terigu secukupnya.

    Proses pembuatannya tidak rumit. Pertama-tama, didihkanlah air putih dengan gula batu yang dihancurkan hingga gula larut bersama air. Dinginkan larutan gula batu tersebut. Setelah dingin, tambahkan tepung beras, kemudian aduk hingga adonan merata.

    Siapkan wajan berisi minyak kelapa yang dipanaskan di atas kompor atau dodika jika masih menggunakan kayu bakar. Nyala api jangan terlalu panas agar kukis cucur yang digoreng tidak mudah hangus. Untuk mengangat kukis cucur yang digoreng kita memerlukan 3 bilah bambu. Agar ukuran kukis cucur yang kita dapat merata, ada baiknya kita menggunakan sloki yang sedang.

    Menggoreng kukis cucur  tidak sama dengan menggoreng pisang goreng. Kukis cucur digoreng satu persatu. Lama menggoreng kira-kira 1 menit per satu buah dengan api yang tidak terlalu panas. Bagian yang sudah matang, dibalik agar bagian yang lain juga matang. Kukis cucur yang dipastikan sudah matang, jangan langsung diangkat keluar dari wajan. Gunakan bilah bambu untuk meniriskan minyak dari kukis cucur dengan cara tusukan bila bambu tersebut di bagian tengahnya. Kue cucur yang sudah selesai ditiriskan ditaruh di sosiru atau baskom yang sudah disediakan.  Bilah bambu yang lain digunakan secara bergantian untuk kukis cucur yang lain. Begitu seterusnya yang dilakukan sampai selesai.

    Selesailah sudah kita membuat kukis cucur. Tinggal menyantapnya bersama dengan minuman kopi hangat. Jangan lupa ajak suami, istri atau menantu. Kalo banyak yang dibuat ajak juga para birman (tetangga) terdekat agar acara keluarga kita rame.